Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala
Showing posts with label Literasi. Show all posts
Showing posts with label Literasi. Show all posts

Tuesday 6 July 2021

Take Your Time

 



waktu,cerpen,stasiun,cinta



Aku tahu mengapa kau memilih pantai ini. Meskipun jarak yang harus ditempuh lebih lama jika dibandingkan dengan pantai lain. Namun, tak mengapa sejauh apapun kau ingin melangkah aku akan tetap disampingmu.

 

Kau berlari kecil ke bibir pantai, binar matamu terpancar seketika, dengan senyum yang tersungging dari bibirmu. Aku berjalan pelan kearahmu, memperhatikan setiap gerak tubuhmu, rambut panjang hitammu tergerai hingga pinggang, terayun-ayun tertiup angin, kaki jenjangmu dibalut celana panjang biru wardah, dibiarkan tersentuh air laut, aku bahkan tahu alasan kau memakai warna itu, kau menginginkannya dan kau sangat menikmatinya. Melihatmu bahagia itulah janjiku padamu dan aku tahu kamu membutuhkan pantai ini, meskipun itu membuat hatiku teriris sembilu.

 

Kau berbalik ke belakang, memandangku sejenak, dapat kutemukan sinar wajahmu meredup. Lalu kau melangkah maju membiarkan lututmu terjamah ombak. Melihat itu, dadaku berdegup kencang, aku berlari lalu mendekap erat tubuhmu dari belakang.

 

“Cukup, jangan melangkah lagi!”

 

“Maaf.”

 

“Jangan membuatku khawatir lagi.”

 

“Maaf.”

 

“Jangan lagi ucapkan kata itu!”

 

“Iya.”

 

“Aku sudah kenyang dengan kata ‘maaf’.”

 

“Apa kau tidak lelah dengan tingkahku?”

 

“Tidak akan pernah ada kata lelah denganmu.”

 

“Aku perlu waktu lagi, apa kau tidak keberatan?”

 

“Ambil waktumu sebanyak yang kau mau, dan kupastikan aku tidak akan beranjak darimu.”

 

-----

 

Sudah hitungan enam purnama kau berpisah dengannya, aku pikir kehadiranku mampu menghapus mendung di hidupmu tapi sepertinya lara itu masih tersisa. Besok hari Sabtu, aku punya rencana indah untuk kita nanti, karena hari ini aku mendapkan bonus dari atasan, dan kau juga tidak ada jadwal mengajar. Keluar dari ruang atasan, tak sabar untuk menyampaikan berita gembira, baru saja aku meronggoh gawai dari saku, tapi kau sudah meneleponku dahulu. Mungkin kita sudah sehati, pikirku, aku angkat panggilan darinya dengan girang hati.

 

“Na ….”

 

“Hei, aku baru saja mau meneleponmu.”

 

“Na ….”

 

“Wi, nanti Sabtu kita ke Lembang, yuk! Aku dapet bonus nih, kata kamu pengen wisata kuliner sekitaran Lembang. Kamu nggak ada kegiatan di sekolah, kan?”

 

“Na ….”

 

“Nanti aku jemput ke rumah sekitar sore, ya! Soalnya pagi aku ada meeting dengan klien sampai siang.”

 

“Na ….”

 

“Iya, Wi, bisa, kan?”

 

“Na … dia balik lagi.”

 

Hati yang penuh suka cita terhempas seketika, entah karena aku tengah euforia hingga tak peka terhadap suara sendunya dari tadi.

 

“Terus?”

 

Aku hempaskan tubuh di kursi kerja, kulonggarkan dasi yang sedari pagi menyempurnakan penampilan, padahal dasi ini pemberian darinya –favoritku-, tapi sekarang dasi ini sedang mencekik leherku.

 

“Aku … aku bingung, Na. Dia janji nggak akan mengulang lagi kesalahannya.”

 

“Dan kamu percaya?”

 

“Hatiku masih terisi olehnya, Na.”

 

“Baik, jika itu sudah keputusannmu, aku tak akan memaksa. Hati nggak bisa dipaksa, Wi, dan aku bukan pemaksa.”

 

Jalan Braga hari ini terlihat cerah, dari lantai lima gedung ini, dapat kulihat lalu lalang kendaraan. Sebagian besar pekerja di sini hari Sabtu libur, aku yakin setiap orang yang memiliki pasangan ingin memberikan quality time-nya dengan orang terkasihnya, begitu pun aku, tapi siapa sangka laju hidup satu jam kedepan tak ada yang tahu, manusia hanya punya rencana.

 

Aku meraup muka dengan kasar, mungkin aku laki-laki yang terbilang bodoh karena terlalu banyak mengambil resiko, peluang besar patah hati sangat tinggi mengingat hubungan mereka sudah terjalin sejak berseragam putih biru.  Aku yang terlalu naif, ingin menjadi seorang kesatria berbaju putih dengan menunggang kuda putih lalu menyelamatkan sang putri yang sedang merana. Tapi inilah namanya cinta, aku sendiri sukar untuk mengartikannya, yang aku inginkan, dia bahagia meskipun itu bukan denganku.

 

-----


Berminggu-minggu aku sibukan dengan setumpuk pekerjaan, tak ada waktu untuk libur, semua akses yang terhubung dengannya aku tutup demi otakku agar tak terlalu mengingat akan dirinya. Aku mencoba perlahan melepaskannya meskipun itu sulit, memberikan dia waktu lebih lama lagi, sampai dia mengatakan ‘berhenti’, maka aku akan berhenti memberikannya waktu. Aku tak ingin kehadiranku menjadi beban untuknya. Biarlah hatinya menuntun kepada siapa dia akan berlabuh.

 

Hari ini aku pulang ke Bandung setelah seminggu melaksanakan tugas luar ke Surabaya. Memilih jalur transportasi kereta api, karena menurutku lebih rileks meskipun membutuhkan waktu yang lebih lama dibadingkan menggunakan transportasi udara.

 

Aku meminta adikku untuk menjemput, di stasiun Kiara Condong, rencana ingin langsung jalan-jalan ke BSM siapa tahu ada film yang kusuka. Barang bawaanku lumayan banyak satu koper pakaian, dan berkas-berkas kerja, satu tas besar berisi buah tangan untuk keluarga dan teman kantor, satu lagi tas laptop. Aku edarkan pandangan mencari sesosok adik bungsuku, namun yang kudapati dirinya. Mataku menyipit, mempertegas penglihatan, seorang wanita dengan memakai gaun berwarna merah marun –warna kesukaanku- sedang berjalan kearahku. Aku menoleh ke kanan ke kiri ke belakang jangan-jangan ada lelaki yang sedang menunggunya dibalik badanku. Dia memberikan senyuman, ragu aku membalasnya, dia membalas senyumku dengan terkembang, maka aku pun tak ragu lagi untuk memberikan senyuman lebih.

 

Pada jarak tiga langkah di langsung memelukku, sambil terisak.

 

“Maafkan, aku.”

 

“Sudah kubilang jangan ada kata maaf lagi!”

 

“Aku tahu apa yang kubutuhkan sekarang.”

 

“Apa?”

 

Kepalanya mendongkak, kami saling menatap, ada kesungguhan di matanya.

 

“Kamu.”

 

Aku pun tersenyum lalu memeluknya erat, menghidu aroma rambutnya yang kurindu … wanitaku.



Oleh Neng Sri

Hanya Ingin Bahagia

 

cerpen,novel,cerbung,pisah,nafkah,bahagia,derita

Aa  Agus beserta istri dan anaknya sudah lama meninggalkan tempat tinggalku, tapi kata-katanya masih terngiang jelas di telingaku.

 

“Ibadah kamu sudah bener belum? Jangan sombong jadi perempuan mentang-mentang kamu sudah punya penghasilan sendiri mau gugat cerai suami.”

 

Kakakku sengaja meluangkan waktu berangkat dari Bandung ke Sukabumi demi melihat kondisi rumah tangga adiknya. Aku tidak menyalahkan A Agus menentang keinginanku, karena dalam sejarah keturunan keluarga besar Wijaya tidak ada yang rumah tangganya bercerai. Apa nanti tanggapan sanak saudara, tetangga, teman di Bandung jika mendengar rumah tanggaku kandas, nama baik keluarga Wijaya akan tercoreng karenanya.

 

“Sudah dipikir matang?” Tanya teh  Wati dengan menggenggam telapak tanganku.

 

“Sudah setahun, Teh. Nurul sudah pikirin ini sudah setahun.”

 

“Apa nggak ada kesempatan lagi buat Arif?”

 

Aku menggeleng.

 

“Lalu Ziya sama Zahran?”

 

Aku tertunduk diam, mendengar nama anak-anakku dadaku langsung terasa sesak, tangisanku tak terelakan.

 

“Nurul sudah cukup sabar, Teh. Delapan tahun bukan waktu sebentar buat Nurul. Nurul lelah, cape Teh, kang Arif tidak pernah mengerti apa keinginan Nurul, dia terlalu tinggi menerima masukan dari istrinya.” Dengan terisak aku ungkapkan alasanku.

 

“Kamu nggak mikir ke depan, masa depan anak-anak? Gimana kalau Arif menginginkan hak asuh Ziya dan Zahran? Arif sedang di puncak karir, Nurul! Jadi anggota dewan itu banyak koneksinya. Kamu punya apa sekarang? Punya usaha katering kecil sudah betingkah! Kamu sudah pertimbangkan itu!?” hardik Aa Agus menatapku tajam.

 

“Aa, Nurul mohon beri dukungan moril, adikmu ini tidak bahagia, adikmu tertekan. Kalau Aa masih peduli masih sayang sama Nurul bantu solusi agar anak-anak tetap dalam pengasuhan ibu kandungnya, karena Nurul nggak yakin jika mereka diasuh bapaknya, dengan watak keras, temperamennya yang tinggi, khawatir masa tumbuh kembang mereka, A.” Aku menghiba pengertian kakakku.

 

“Dengan kamu milih pisah sama bapaknya itu juga sudah buat masa kembang anak-anakmu jadi suram, Nurul! Apa salahnya sih, kamu nurut apa kata Arif, ridhomu ada pada suami, surgamu di situ, ingat itu!” tajam Aa Agus dengan telujuk menunjuk ke arah mukakku.

 

“Ayah!” tegur Teh Wati pada suaminya.

 

 

Aku semakin terisak merasa sendirian menghadapi badai biduk rumah tangga. Haruskah aku ceritakan detail permasalahaan sebenarnya? Aku tak akan berani membuka usaha katering kecil-kecilan, jikalau aku mendapatkan nafkah yang jelas dan layak dari suami. Karir kang Arif yang sedang tinggi tak serta merta aku menapatkan nafkah yang tinggi pula, aku tak punya kuasa untuk mengatur terlebih menanyakan penghasilannya.

 

“Akang beli lagi alat pancing mahal lagi? Nggak sayang itu uang dihambur-hamburkan?”

 

“Ini uangku, Nurul! Aku yang banting tulang cari uang, suka-suka aku mau di apakan uangku. Kamu hanya diam di rumah, tahu makan saja, jangan banyak protes!”

 

Aku hanya bisa meratapi nasib seorang istri dari anggota dewan daerah, yang belum pernah sekalipun suami membelikan istrinya sesuatu dengan harga belasan juta tapi demi alat pancing, kang Arif rela mengeluarkan uang sembilan belas juta lebih. Inikah sosok suami yang bersamanya aku akan merengguk kebahagiaan?

 

Waktu sudah menunjukan jam dua belas malam, kang Arif belum pulang, padahal jam kerjanya sudah berakhir sejak sore tadi, entah kemana perginya sekarang. Terkadang aku tak ingin peduli tapi tetap sebagai istri rasa cemas itu ada.

 

Menunggu kepulangan suami sudah menjadi rutinitas harianku sejak pertama kali menyandang status sebagai istri kang Arif, jam berapapun dia pulang aku selalu setia menanti di depan pintu untuk menyambutnya, tapi tak satu pun aku mendapatkan apresiasi yang baik darinya. Bukan bermaksud pamrih, ingin dipuji oleh suami, tapi salahkah bila seorang istri ingin mendapatkan perlakuan lembut dari seorang suami? Berlebihankah permintaanku?

 

“Kenapa harus nungguin aku pulang sih? Akang kaya anak kecil saja.”

 

“Ck, belum tidur kamu? Tidur sana nggak usah nunggu akang!”

 

“Nurul, bisa nggak sih kamu jangan kaya polisi jaga?”

 

“Masih patroli kamu, ya?”

 

Andaikan kalimat-kalimat tersebut diucapkan dengan nada lembut, aku pasti akan menerimanya, bukan dengan hardikan atau bentakan. Aku duduk di sofa dengan mata melihat layar Tv, hanya melihat tidak menyimak, mata dan pikiranku sedang tidak sejalan. Sudah ratusan kali aku menimbang keputusanku, baik dan buruknya bagi anak-anak terutama, semua nasihat aku dengar dan pertimbangkan entah itu dari guru ngaji, orang tua maupun teman, keputusanku sudah bulat, aku juga berhak bahagia, jika kebahagiaan tidak aku dapatkan dalam pernikahan ini lalu untuk apa masih bertahan.

 

Aku melangkah keluar rumah, melihat keheningan malam, menikmati bintang dan bulan yang yang menghiasi. Kurapatkan sweter hitam yang membalut tubuh, dinginnya malam sedingin perasaanku padanya. Rasa cinta yang menggebu dulu perlahan terkikis atau bahkan mungkin sudah tak bersisa. Sosok Arif yang dulu kukagumi karena pekerja keras, pantang menyerah, giat, rajin  ternyata semua itu bukan untukku tapi untuk dirinya sendiri. Salahkah aku mengambil sikap ini?



Oleh Neng Sri

Monday 5 July 2021

I Love You Too

 

cinta,love,fisrt,sma,sekolah,cerpen,cerbung,novel

Pada suatu hari ….

 

“Hai, sstt … denger-denger hari ini bakalan datang siswa baru, lho, Cha, pindahan dari Subang.” Baru datang ke kelas Hira sudah nyerocos padahal bokongnya saja belum nempel ke kursi. Aku yang sedang menyuap sarapan yang belum kelar dari rumah langsung tersedak.

 

“Bikin kaget aja! Dapet dari mana infonya? Akurat?” tanyaku sambil menyeruput minuman dari botol tumbler.

 

“So pasti, akoh gitu, lho. Terdepan dan terpercaya dalam berita.” Bangganya.

 

“Kamu nggak sarapan di rumah?” Lanjutnya sambil ikut mencomot nugget.

 

“Sarapan, cuma tadi belum tamat keburu dipanggil ayah. Sayang, kan, mubazir kalau nggak di habisin.” Hira mengambil lagi nugget dari kotak bekalku.

 

“Em … emang, ya, masakan bunda kamu top bgt, lah. Pantesan anaknya subur.”

 

“Subur juga cantiknya ngalahin cewek idaman sekolah.”

 

“Yups, setuju, Ulfa cantik tapi kamu manis, makanya aku nggak malu jalan bareng tapi sayang kamu payah matematika, jadi tetep skor satu buat Ulfa.” Ulfa adalah anak IPA yang katanya kecerdasan dan cantiknya mirip artis yang lulus kuliah S2 di universitas negeri paman sam.

 

“Dasar, temen nggak ada ahlak.”

 

“Kamu kalau lihat dia pasti bakalan melongo, Cha.”

 

“Nggak akan, Hira!”

 

“Kita lihat saja. Taruhan.”

 

“Nggak boleh itu.”

 

“Cuma taruhan nugget doang. Kalau kamu ternyata terpesona sama itu orang, aku minta nugget bunda kamu sampai kita lulus.”

 

“Lama amat, Hira. Kalau aku memang nggak suka?”

 

“Ya … tetep aja nuggetnya buatku.”

 

“Dasar curang.”

 

Lalu tiba saatnya anak baru masuk ke kelas didampingi ibu Resa wali kelas kami. God … he is … apa, ya, gambaran pas untuknya, renyah? Ah bukan, memangnya dia kerupuk? Aku bayangin seperti makan  kue egg roll, renyah pas digigit, manisnya nggak kebangetan di mulut … duh aku kenapa jadi ingat makanan sih, masa orang cakep di samain kue? Ini gara-gara bunda yang suka bikin kue egg roll. But … realy dia cakep bukan kaya opa-opa Korea yang putih klimis, ini sih cowok Indonesia banget.

 

Dari samping dapat kurasakan Hira sedang mengamati, dia mulai menyenggol-nyenggol dengan sikunya.

 

“Iya kan?” Dengan menurun naikan alis matanya, ck … menyebalkan.

 

“Nggak, kulitnya juga lebih hitam dariku, apanya yang istimewa, B aja.”

 

“Tapi aku tadi liatin, matamu nggak kedip lima belas detik, lho. Lama itu, Icha.”

 

“Paan, sih! Sempet-sempetnya ngitung kedipan, serah, deh,” sungutku.

 

Rasi namanya pindah ke Bandung karena bapaknya mutasi kerja, orangnya nggak ngebosenin kalau dipandang, betah aja gitu liatnya. Dapet duduk paling belakang karena yang tersisa tinggal itu tapi untungnya sebaris denganku, eh … kok untung? Plak! Aku pukul kedua pipi, pikiranku mulai ngelantur, fokus, fokus belajar Icha jangan mulai. Duh … kenapa aku dikit-dikit pengen nengok ke belakang, ya? Tahan Icha, tahan, jangan sampai bualan Hira itu benar!

 

Suatu hari, pada hari Rabu yang mata pelajaran Matematikanya empat jam langsung tanpa jeda -bisa bayangkan betapa tersiksanya aku- kami disuruh bikin kelompok dan memang takdir itu indah aku yang payah soal hitungan sekelompok dengannya yang jago matematika, Tuhan terima kasih.

 

 Bangku dua dirapatkan kami berlima Rasi, Zaki, Salu, Hira dan aku, kami duduk melingkar. Tentu saja Rasi yang jadi ketua karena dia yang pinter matematika.

 

“Oke, sebelum kita bagi-bagi tugas, tadi bu Neneng udah jelasin, sekarang aku coba ulang tapi sedikit, ya….”

 

Duh … senyumnya bikin nagih, lama kelaman kalau senyum terus bisa diabet aku, dan bla, bla, bla, aku sama sekali nggak ngerti apa yang diomongin Rasi, baca sin,cos,tangen aja kepalaku langsung muter-muter, herannya kok bisa dia lancar ngomong jelasin itu cos cosan, dikasih makan apa sih itu otak?

 

“Icha, hey, Icha ngerti nggak?” Tiba tiba Hira menyenggolku dengan keras. Aku yang sedari tadi cuma merhatiin sang ketua ngomong jadi gelagapan.

 

“Eh? Apa? Iya?”

 

“Makanya didenger omongannya bukanya diliatin mukanya,” bisik Hira ke telingaku.

 

“Hm, maaf, ya aku memang payah pelajaran ini, bener, tadi aku udah berusaha ngerti penjelasan bu Neneng dan kamu tetep aja aku masih loading. Kayanya aku harus les privat sama kamu, deh.” Eh, aku menutup mulutku. Aku langsung menyesali kata terakhir yang terlontar, dasar kurang ajar banget ini mulut, aku, kan jadi malu.


“Hehe … becanda, Rasi,” lanjutku dengan senyum malu-malu kucing.

 

“Nuggetnya mulai besok, ya,” bisik Hira lagi.

 

“Nggak becanda juga, aku siap.” Rasi menjawab.

 

“Hah?” Spontan aku, Salu dan Hira berucap.

 

“Aku juga mau,” kata Hira.

 

“Aku juga,” ucap Salu selanjutnya.

 

“Temen sebangkumu juga ajak, dong, Rasi!” rajuk Zaki.

 

Hari Sabtu dipilih untuk kami belajar bersama, karena hari itu sekolah kami libur dan memilih tempat dirumahku, alasannya karena bunda jago masak, banyak makanan jadi nggak akan kelaparan, itu alasan Hira, untuk urusan makanan semua pasti sejutu. Aku sih seneng-seneng aja berasa di apelin, hehe.

 

Semenjak itu, aku jadi giat ke sekolah, bertemu dengannya sesuatu hal yang selalu dirindukan. Untuk pelajaran matematika sedikit banyak kemajuan, setidaknya kalau ada peer aku tak perlu mencontek lagi, kan, sudah dikerjain bareng-bareng. Pepatah mengatakan ‘sambil menyelam minum air’ itu memang bagus kalau diimplementasikan dengan cara baik dan benar.

 

Pada bulan selanjutnya, entah angin apa guru matematika tiba-tiba bikin ulangan dadakan. Meskipun sudah dibahas pada saat belajar bareng, tetep otakku untuk pelajaran ini memang lemot banget, kesel juga sih sama otak sendiri, huh!

 

“Ngerjainnya di buku khusus ulangan matematika, ya!”

 

‘Kenapa nggak bilang, sih, ada ulangan jadi buku itu nggak kebawa,’ omelku dalam hati.

 

Ini guru memang sering bikin moodku ambyar pagi-pagi, udah pelajarannya susah, gurunya juga ngeselin, terpaksa aku minta ijin untuk ke kantin buat beli buku baru.

 

Soal ulangan aku liatin, lama-lama dipelototin saking susahnya, parahnya soalnya beda antar sebangku, jadi nggak bisa nyontek ke Hira. Daripada mataku pegel melototin soal, aku buka lembar paling belakang buku, biasa corat-coret di kala jenuh, di sana aku tulis ‘love you Rasi’ dengan huruf beragam dikasih kotak-kotak setiap huruf dihias sedemikian rupa, jadi terlihat artistik, aku senyum sendiri, cantik jadinya.

 

“Icha, kerjain bukannya ngegambar,” bisik Hira.

 

“Susah,” jawabku.

 

Aku menghiraukannya, anteng bikin gambar.

 

“Waktunya sepuluh menit lagi,” seru bu Neneng.

 

Waduh! Baru ngerjain satu dari tiga soal, cepat aku kerjakan semampuku, sampai waktunya habis hanya dua soal yang terisi, ketua kelas keliling buat ambil buku, nyerah deh, aku kasih juga bukunya.

 

“Ini, punya siapa, ya? Nggak ada namanya,” kata bu Neneng.

 

Gawat, karena terburu-buru jadi aku lupa ngasih nama, duh mana di belakang ada coretannya lagi. ‘Jangan ke belakang, jangan dibaca, jangan dibaca,’ harapku dalam hati. Ketar ketir aku berharap, keringat di pelipis mulai muncul, mataku terpejam sambil meratap doa.

 

“Ada tulisan di belakang nih ‘love you Rasi’, punya pacar kamu, Rasi!?” teriak bu Neneng.

 

Mati, aku!

 

Sontak seisi kelas gaduh.

 

Disamping Hira malah menertawakanku, “Ternyata, seorang Icha pemberani juga, itu buku kamu, kan? Nggak usah panik gitu, itung-itung nembak.”

 

“Rasi bagiin bukunya,” pinta bu Neneng.

 

‘Yah, kenapa juga harus dia, sih. Kalau ketahuan nanti gimana? Mau ditaruh di mana mukaku, apa aku pura-pura ke toilet, ya?’ Otakku  mulai berpikir.

 

“Oh … nugget came to mama,” ujar Hira tertawa cekikikan.

 

Belum sempat aku minta ijin ke guru, ternyata Rasi sudah ada di sampingku.

 

“Ini buku kamu, kan?” bisiknya dengan membungkukan badan.

 

Aku tidak berani jawab, hanya bisa diam mematung, setelah buku ada di depanku langsung aku buka lembar belakang mau sobek aja trus buang ke dasar laut gara-gara ini hilang sudah wibawaku. Eh … tunggu ada tulisan tambahan, aku kenal tulsan ini, ini kan?

 

‘Makasih, ya. I love you too’ tulisnya.

 

Ish …



Oleh Neng Sri

Lepaskan Aku, maka Aku akan Melepaskanmu

 

novel,lily,cerpen,cerbung,duka,nisan,setia


Dalam setiap ada kesempatan, kamu selalu antusias mengajak bicara, mengenalkan tentang dunia yang digelutimu. Layaknya seorang dosen yang akan mengajar, kamu membuat jadwal sendiri tentang hal apa yang akan dikenalkan nanti, sungguh lucu.

 

“Suatu kebanggaan jika ada yang mengikuti jejakku.” Alasanmu.

 

Aku ingat, pertama kali kamu memperkenalkan tentang Pascal, bahasa yang telah membuatmu jatuh cinta dan terperosok lebih dalam lagi pada dunia pemograman. Aku tidak tertarik pada obrolanmu, otakku terlalu sulit mencerna. Aku lebih tertarik dengan binar mata dan senyuman di bibirmu sepanjang kamu berbicara, wajah penuh kelembutan, dengan rambut hitam legam sedikit bergelombang yang tak pernah bosan aku mainkan. Aku selalu terpesona karenamu.

 

Kamu yang katanya sudah jatuh hati sejak aku memakai seragam putih biru, semenjak itu kamu berjanji akan menjadikanku sebagai tempat untuk pulang.

 

“Kamu adalah tempat aku pulang, rumahku, tempat tinggalku yang teduh dan damai.”

 

“Yakin aku akan menjadi wanitamu?”

 

“Karena aku sudah meminta pada Tuhan pemilik Arasy.”

 

“Bagaimana jika Tuhan tidak mengabulkan?”

 

“Aku percaya takdir itu selalu baik, apapaun yang terjadi kita harus berbaik sangka, bukankah prasangka Allah seperti apa yang hambanya sangkakan?”

 

Suatu hari ketika aku sedang di belakang mengurusi kebun kecil bunga kita, kau datang dengan berteriak memanggilku, aku tergopoh menyambutmu.

 

“Ah, sayang, syukurlah kamu tidak apa-apa.” Kamu mendekap erat dengan terus mencium seluruh wajahku.

 

“Ada apa?”

 

“Tadi dapat berita dari grup katanya ada perampokan siang bolong, aku khawatir.”

 

“Jangan takut aku bukan anak sekolahan lagi.”

 

Bagaimana bisa aku tidak menjatuhkan hatiku padamu, kamu memperlakukannku laksana kristal kaca yang takut pecah. Kamu adalah cinta pertamaku, pun aku adalah cinta pertamamu, sangat indah bukan.

 

Kini kamu seperti bintang di langit  nun jauh sana, aku tak kan pernah bisa menggapimu meskipun menaiki seribu tangga.

 

Aku yang masih sama dengan rasa yang masih bertahta, tak sediki pun rasaku bergeser walau sesenti, aku selalu ada dekatmu walau kau sendiri tak menyadari kehadiranku, bukankah kamu sendiri yang meminta agar aku jangan pernah meninggalkanmu walau sedetik pun, aku memenuhi janjiku, bukan?

 

Mengapa kau hadirkan wanita lain di antara kita, bukankah kau sudah berjanji akulah wanita satu-satunya yang ada dalam hidupmu. Mengapa wanita itu sering bertandang ke rumah impian kita, rumah yang aku sendiri merancangnya, rumah minimalis dengan cat warna dominan putih tanda suci cinta kita. Kamu duduk bersamanya layaknya sebuah keluarga kecil bahagia, di belakang kebun bunga kecil yang aku tanami sendiri, duduk bersama di bangku panjang warna putih, dengan memandang warna langit  jingga sore hari, persis seperti kamu dan aku lakukan dulu. Apakah wanita itu mendapatkan cerita yang sama denganku? Mengapa kau bisa cepat beralih sementara aku masih di sini terpenjara.

 

Satu hari aku melihatmu, memohon pada wanita itu untuk tinggal, aku melihat bayanganku dulu ketika aku marah dan kau merayuku sedemikin rupa hingga akhirnya hati ku pun luluh, lalu besoknya aku mendapatkan sekuntum bunga tulip putih, simbol dari ketulusan, kemurnian, harapan dan pengampunan, ah, sungguh manis perlakuanmu, apakah wanita itu juga akan mendapatkan bunga tulip putih juga?

 

Hari ini kamu dan wanita itu datang ke tempatku, kamu menggenggam bunga lily putih, menggambarkan kemurnian cinta sejati, tanda kesetiaan, sedangkan wanita itu memegang bunga mawar kuning sebagai tanda persahabatan.

 

“Teteh, aku membawakanmu bunga mawar kuning, Teteh sudah pasti tahu artinya, iya, kan?”

 

Tentu saja aku tahu, aku memiliki toko bunga, mengapa kau memintaku sebagai sahabat, sedangkan jelas nyata kamu duduk berdampingan dengan lelakiku, mana bisa aku menerimamu.

 

“Teteh, aku tidak akan pernah bisa menggantikan peranmu, posisimu terlalu kuat untuk aku ambil alih. Aku hanya akan meneruskan peranmu untuk Pascal bukan untuk menggantikan. Ijinkan aku merawatnya, sudah terlalu lama anak manis itu sendirian, karena papa terlalu larut dalam duka.”

 

Wanita itu meletakkan bunga tepat di atas, dengan mengucapkan kalimat syahdu dengan mata tertutup, suasana menjadi sangat tenang dan damai, terlihat jelas aura berserah, mungkin aku terlalu buruk sangka padanya. Kamu pun menunduk menghayati setiap kalimatnya, mengamini setiap kata yang diucapkannya. Lalu diakhiri kata ‘aamiinn’ terlihat wajah sendumu yang selama ini terlukis, air di pelupuk matamu pun akhirnya jatuh, ingin aku merengkuhmu, menghapus jejak air mata mu, tapi aku tak bisa, kita tidak lagi sama.

 

“Aku tinggalkan kalian berdua,” ujar wanita itu.

 

Kini kita berdua, seperti dulu, betapa aku merindukan saat seperti ini, melihatmu dalam jarak dekat, lelaki yang telah membuat irama hidupku lebih berbunga.

 

“Sayang, aku datang dengan bunga kesukaanmu, bunga kesukaanku juga.”

 

Iya, bunga itu menjadi bunga pertama yang kamu berikan padaku, bunga yang kamu pakai ketika melamarku, aku pasti selalu mengingatnya.

 

“Honey, kata orang-orang terlalu lama aku mementingan perasaanku, lima tahun aku bertahan sendiri tanpa berpikir bahwa ada Pascal, anak kita butuh perhatian lebih, ijinkan Pascal mendapatkan sentuhan belai kasih seorang ibu.”

 

Aku mengerti, Sayang, Pascal buah cinta kita, nama yang sama yang membuatmu pertama kali jatuh cinta, setelah tiga tahun lamanya menanti kehadirannya, tanggal lahirnya tertulis sama dengan tanggal pada nisanku, aku mencintai kalian, tentu saja Pascal membutuhkan kasih sayang seorang ibu yang tidak bisa aku berikan,

 

“Sweety, kamu cinta pertamaku, selamanya tak akan ada yang menggantikan, karena jiwaku pun ikut terkubur bersamamu, kamu akan selalu menjadi rumahku selamanya.”

 

Aku tahu sayang, cintamu padaku terlalu dalam, tidak salah kiranya aku menjadikanmu lelaki terbaikku, tapi kau begitu cengeng, jangan menangis terus, sayang.

 

“Istriku, aku dulu pernah berkata bahwa takdir itu selalu baik, semenjak kau pergi aku lupa kata-kata itu, aku merutuki takdir yang membuat jarak diantara kita terbentang jauh, menyalahkan kehadirannya. Hingga aku tersadar melihat bening bola mata anak kita, aku seperti melihatmu, dia memanggilku ‘papa’, aku tahu kau sebenarnya tak pernah meninggalkanku, maafkan aku yang terlalu egois, memintamu untuk tetap bersamaku, aku terlalu lama memasungmu.”

 

“Sudah saatnya aku melepasmu ikhlas, akan ku ceritakan padanya bahwa ada seorang wanita penyuka bunga yang dari umur belasan tahun sudah menarik hati, membuat papanya terbenam dalam cinta yang dalam hingga waktu yang tak terhingga, seorang ibu hebat yang rela melepas nyawanya demi hadirnya cinta baru.”

 

Oh, suamiku sayang aku melepasmu juga, sudah cukup lama kamu berkubang dalam duka, jika kamu mencintaiku kirimkan aku untaian doa di setiap sujudmu, aku menunggu kalian berdua.



Oleh Neng Sri

Wednesday 23 December 2020

LITERASI# PEREMPUAN YANG MEMBENCI HUJAN

 

literasi, novel,cerita,hujan,wanita,perempuan,artikel

Putri berlari ke kamar, duduk dengan memeluk lutut yang tertekuk di atas ranjang. Sekuat tenaga menutup telinga agar suara itu tidak terdengar. Tubuhnya gemetar, keringat bercucuran, degup jantungnya semakin bertalu berlomba dengan suara guruh dan guntur. Dengan memejamkan mata sambil merapalkan do’a agar suara itu cepat hilang, tapi sepertinya harapannya tidak terkabul, mengingat bulan ini musim penghujan datang. Mulutnya tak berhenti mengucap, “Ya Allah cepat pergi, berhenti, berhenti.”


Suara tetesan air yang jatuh ke bumi bagi Putri bagaikan ribuan jarum yang menusuk jantung, mengoyak tubuh yang lemah, membuat sayatannya semakin dalam. Suara guntur disertai petir seperti hantaman godam yang menimpa tubuh. Dulu Putri paling suka menghirup aroma tanah kering yang terguyur hujan -aroma petrikor-, tetapi sekarang aroma ini memuakkan indera penciumannya.


Lama menunggu berhentinya hujan, Putri mulai menangis, terisak perih mengingat peristiwa yang telah membuatnya terluka. Sebuah luka yang tak akan pernah sembuh. Putri mengeleng-gelengkan kepala, berharap ingatan itu sirna, tapi semakin Putri berusaha untuk menghapusnya kenangan itu malah semakin terlihat jelas. Bajunya basah dengan peluh yang tercipta, tanpa tersadar badannya ikut bergoyang tak tentu arah, Putri menjerit memukul-mukul kepalanya, “enyahlah dari kepalaku!” racaunya.


Setiap musim penghujan datang seperti memasuki lorong sempit yang gelap dan sunyi, saat itulah penderitaanya datang. Tak ada yang tahu apa yang telah dialaminya, Putri lebih memilih mengunci rapat meskipun itu  hanya akan membuatnya menderita sepanjang hidup, baginya itu adalah aib, tak ingin orang-orang memandang iba.


Tangisan dan jeritan Putri semakin melambat seiring guyuran air dari langit mereda, saat itulah penderitaannya berhenti sejenak. Lelehan air mata membuat nestapa jelas terlihat dalam bingkai wajah meredupkan sinar kecantikannya, dengan tubuh basah bermandikan keringat … lelah, itulah yang Putri rasakan.

 

-----

 

Seorang gadis kecil bersembunyi dibalik lemari baju, terduduk lemas, gemetar seluruh badan, napasnya tak beratur, tangan kanan memengang dada sebelah kiri, degupnya semakin kencang, tangan kiri membekap mulut sambil menggigit bibir bawah. Bola matanya melebar mengintip adegan demi adegan pada celah pintu lemari disertai lelehan air yang keluar membasahi pipi gembilnya, sesekali dia menutup mata tak kuasa melihat, ini terlalu menyakitkan baginya. Suara teriakan beradu kencang dengan hujan deras disertai gelegar petir membuat gendang telinganya sakit.


Ingin dia menjerit tapi teringat pesan sang bunda untuk diam jangan bersuara. Setelah sekian jam mendekam dalam ruang sempit persembunyian, lalu menjadi hening seketika. Tak terdengar lagi suara teriakan demi teriakan yang mengeluarkan cacian dan umpatan, tak ada lagi suara barang yang terlempar, tak ada lagi benda yang jatuh.


Butuh waktu bagi gadis sekecil dia untuk memutuskan keluar dari persembunyiannya, dengan tangan kecil gemetar pelan-pelan dia membuka pintu lemari. Dia tetap diam tak beranjak dari tempatnya duduk, meskipun pintu lemari sudah terbuka lebar, tertegun melihat pemandangan yang ada di depan mata.


Dengan merangkak gadis kecil memberanikan diri keluar, lalu perlahan menegakkan badannya, matanya terbelalak melihat sekeliling ruangan yang porak-poranda. Dengan kaki gemetar dia berjalan tertatih-tatih menghampiri wanita yang tergeletak di atas ranjang. Terisak pelan menggoyang-goyangkan tubuh wanita tersebut.


“Bunda bangun. Bunda bangun, Bunda!”


Ternyata wanita itu adalah ibunya, gadis kecil terus menerus membangunkan, tapi sang bunda tak juga membuka mata. Isakan pelan berganti dengan tangisan setelah menelusur seluruh tubuh sang bunda ternyata ada darah yang membasahi keningnya. Ketakutan mendera, gadis kecil menempelkan telinga ke dada sebelah kiri sang bunda, menirukan adegan yang pernah dia lihat. Dengan tersedu-sedu memastikan pendengarannya, lama … sampai akhirnya tangisnya pecah, meraung-raung memanggil sang bunda, menggoyang-goyangkan badan berharap goncangan di tubuh sang bunda  dapat membangunkan.


“Bunda bangun, Bunda. Putri takut. Bunda … Bunda bangun!”


Ditemani hujan deras, suara guntur dan petir saling bersahutan, Putri kecil terus meraung dan tak berhenti mengucap, “Bunda bangun. Putri takut.” tapi sayang sang bunda tak juga  bangun. Waktu terus merangkak, langit semakin pekat, jarum jam menunjukan ke angka 12, hujan pun belum berhenti. Putri kecil kelelahan setelah sekian lama menangis pilu sampai akhirnya tertidur sambil memeluk tubuh sang bunda.


oleh : Neng Sri