Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala

Tuesday 6 July 2021

Hanya Ingin Bahagia

 

cerpen,novel,cerbung,pisah,nafkah,bahagia,derita

Aa  Agus beserta istri dan anaknya sudah lama meninggalkan tempat tinggalku, tapi kata-katanya masih terngiang jelas di telingaku.

 

“Ibadah kamu sudah bener belum? Jangan sombong jadi perempuan mentang-mentang kamu sudah punya penghasilan sendiri mau gugat cerai suami.”

 

Kakakku sengaja meluangkan waktu berangkat dari Bandung ke Sukabumi demi melihat kondisi rumah tangga adiknya. Aku tidak menyalahkan A Agus menentang keinginanku, karena dalam sejarah keturunan keluarga besar Wijaya tidak ada yang rumah tangganya bercerai. Apa nanti tanggapan sanak saudara, tetangga, teman di Bandung jika mendengar rumah tanggaku kandas, nama baik keluarga Wijaya akan tercoreng karenanya.

 

“Sudah dipikir matang?” Tanya teh  Wati dengan menggenggam telapak tanganku.

 

“Sudah setahun, Teh. Nurul sudah pikirin ini sudah setahun.”

 

“Apa nggak ada kesempatan lagi buat Arif?”

 

Aku menggeleng.

 

“Lalu Ziya sama Zahran?”

 

Aku tertunduk diam, mendengar nama anak-anakku dadaku langsung terasa sesak, tangisanku tak terelakan.

 

“Nurul sudah cukup sabar, Teh. Delapan tahun bukan waktu sebentar buat Nurul. Nurul lelah, cape Teh, kang Arif tidak pernah mengerti apa keinginan Nurul, dia terlalu tinggi menerima masukan dari istrinya.” Dengan terisak aku ungkapkan alasanku.

 

“Kamu nggak mikir ke depan, masa depan anak-anak? Gimana kalau Arif menginginkan hak asuh Ziya dan Zahran? Arif sedang di puncak karir, Nurul! Jadi anggota dewan itu banyak koneksinya. Kamu punya apa sekarang? Punya usaha katering kecil sudah betingkah! Kamu sudah pertimbangkan itu!?” hardik Aa Agus menatapku tajam.

 

“Aa, Nurul mohon beri dukungan moril, adikmu ini tidak bahagia, adikmu tertekan. Kalau Aa masih peduli masih sayang sama Nurul bantu solusi agar anak-anak tetap dalam pengasuhan ibu kandungnya, karena Nurul nggak yakin jika mereka diasuh bapaknya, dengan watak keras, temperamennya yang tinggi, khawatir masa tumbuh kembang mereka, A.” Aku menghiba pengertian kakakku.

 

“Dengan kamu milih pisah sama bapaknya itu juga sudah buat masa kembang anak-anakmu jadi suram, Nurul! Apa salahnya sih, kamu nurut apa kata Arif, ridhomu ada pada suami, surgamu di situ, ingat itu!” tajam Aa Agus dengan telujuk menunjuk ke arah mukakku.

 

“Ayah!” tegur Teh Wati pada suaminya.

 

 

Aku semakin terisak merasa sendirian menghadapi badai biduk rumah tangga. Haruskah aku ceritakan detail permasalahaan sebenarnya? Aku tak akan berani membuka usaha katering kecil-kecilan, jikalau aku mendapatkan nafkah yang jelas dan layak dari suami. Karir kang Arif yang sedang tinggi tak serta merta aku menapatkan nafkah yang tinggi pula, aku tak punya kuasa untuk mengatur terlebih menanyakan penghasilannya.

 

“Akang beli lagi alat pancing mahal lagi? Nggak sayang itu uang dihambur-hamburkan?”

 

“Ini uangku, Nurul! Aku yang banting tulang cari uang, suka-suka aku mau di apakan uangku. Kamu hanya diam di rumah, tahu makan saja, jangan banyak protes!”

 

Aku hanya bisa meratapi nasib seorang istri dari anggota dewan daerah, yang belum pernah sekalipun suami membelikan istrinya sesuatu dengan harga belasan juta tapi demi alat pancing, kang Arif rela mengeluarkan uang sembilan belas juta lebih. Inikah sosok suami yang bersamanya aku akan merengguk kebahagiaan?

 

Waktu sudah menunjukan jam dua belas malam, kang Arif belum pulang, padahal jam kerjanya sudah berakhir sejak sore tadi, entah kemana perginya sekarang. Terkadang aku tak ingin peduli tapi tetap sebagai istri rasa cemas itu ada.

 

Menunggu kepulangan suami sudah menjadi rutinitas harianku sejak pertama kali menyandang status sebagai istri kang Arif, jam berapapun dia pulang aku selalu setia menanti di depan pintu untuk menyambutnya, tapi tak satu pun aku mendapatkan apresiasi yang baik darinya. Bukan bermaksud pamrih, ingin dipuji oleh suami, tapi salahkah bila seorang istri ingin mendapatkan perlakuan lembut dari seorang suami? Berlebihankah permintaanku?

 

“Kenapa harus nungguin aku pulang sih? Akang kaya anak kecil saja.”

 

“Ck, belum tidur kamu? Tidur sana nggak usah nunggu akang!”

 

“Nurul, bisa nggak sih kamu jangan kaya polisi jaga?”

 

“Masih patroli kamu, ya?”

 

Andaikan kalimat-kalimat tersebut diucapkan dengan nada lembut, aku pasti akan menerimanya, bukan dengan hardikan atau bentakan. Aku duduk di sofa dengan mata melihat layar Tv, hanya melihat tidak menyimak, mata dan pikiranku sedang tidak sejalan. Sudah ratusan kali aku menimbang keputusanku, baik dan buruknya bagi anak-anak terutama, semua nasihat aku dengar dan pertimbangkan entah itu dari guru ngaji, orang tua maupun teman, keputusanku sudah bulat, aku juga berhak bahagia, jika kebahagiaan tidak aku dapatkan dalam pernikahan ini lalu untuk apa masih bertahan.

 

Aku melangkah keluar rumah, melihat keheningan malam, menikmati bintang dan bulan yang yang menghiasi. Kurapatkan sweter hitam yang membalut tubuh, dinginnya malam sedingin perasaanku padanya. Rasa cinta yang menggebu dulu perlahan terkikis atau bahkan mungkin sudah tak bersisa. Sosok Arif yang dulu kukagumi karena pekerja keras, pantang menyerah, giat, rajin  ternyata semua itu bukan untukku tapi untuk dirinya sendiri. Salahkah aku mengambil sikap ini?



Oleh Neng Sri

No comments:

Post a Comment