Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala

Tuesday 6 July 2021

Take Your Time

 



waktu,cerpen,stasiun,cinta



Aku tahu mengapa kau memilih pantai ini. Meskipun jarak yang harus ditempuh lebih lama jika dibandingkan dengan pantai lain. Namun, tak mengapa sejauh apapun kau ingin melangkah aku akan tetap disampingmu.

 

Kau berlari kecil ke bibir pantai, binar matamu terpancar seketika, dengan senyum yang tersungging dari bibirmu. Aku berjalan pelan kearahmu, memperhatikan setiap gerak tubuhmu, rambut panjang hitammu tergerai hingga pinggang, terayun-ayun tertiup angin, kaki jenjangmu dibalut celana panjang biru wardah, dibiarkan tersentuh air laut, aku bahkan tahu alasan kau memakai warna itu, kau menginginkannya dan kau sangat menikmatinya. Melihatmu bahagia itulah janjiku padamu dan aku tahu kamu membutuhkan pantai ini, meskipun itu membuat hatiku teriris sembilu.

 

Kau berbalik ke belakang, memandangku sejenak, dapat kutemukan sinar wajahmu meredup. Lalu kau melangkah maju membiarkan lututmu terjamah ombak. Melihat itu, dadaku berdegup kencang, aku berlari lalu mendekap erat tubuhmu dari belakang.

 

“Cukup, jangan melangkah lagi!”

 

“Maaf.”

 

“Jangan membuatku khawatir lagi.”

 

“Maaf.”

 

“Jangan lagi ucapkan kata itu!”

 

“Iya.”

 

“Aku sudah kenyang dengan kata ‘maaf’.”

 

“Apa kau tidak lelah dengan tingkahku?”

 

“Tidak akan pernah ada kata lelah denganmu.”

 

“Aku perlu waktu lagi, apa kau tidak keberatan?”

 

“Ambil waktumu sebanyak yang kau mau, dan kupastikan aku tidak akan beranjak darimu.”

 

-----

 

Sudah hitungan enam purnama kau berpisah dengannya, aku pikir kehadiranku mampu menghapus mendung di hidupmu tapi sepertinya lara itu masih tersisa. Besok hari Sabtu, aku punya rencana indah untuk kita nanti, karena hari ini aku mendapkan bonus dari atasan, dan kau juga tidak ada jadwal mengajar. Keluar dari ruang atasan, tak sabar untuk menyampaikan berita gembira, baru saja aku meronggoh gawai dari saku, tapi kau sudah meneleponku dahulu. Mungkin kita sudah sehati, pikirku, aku angkat panggilan darinya dengan girang hati.

 

“Na ….”

 

“Hei, aku baru saja mau meneleponmu.”

 

“Na ….”

 

“Wi, nanti Sabtu kita ke Lembang, yuk! Aku dapet bonus nih, kata kamu pengen wisata kuliner sekitaran Lembang. Kamu nggak ada kegiatan di sekolah, kan?”

 

“Na ….”

 

“Nanti aku jemput ke rumah sekitar sore, ya! Soalnya pagi aku ada meeting dengan klien sampai siang.”

 

“Na ….”

 

“Iya, Wi, bisa, kan?”

 

“Na … dia balik lagi.”

 

Hati yang penuh suka cita terhempas seketika, entah karena aku tengah euforia hingga tak peka terhadap suara sendunya dari tadi.

 

“Terus?”

 

Aku hempaskan tubuh di kursi kerja, kulonggarkan dasi yang sedari pagi menyempurnakan penampilan, padahal dasi ini pemberian darinya –favoritku-, tapi sekarang dasi ini sedang mencekik leherku.

 

“Aku … aku bingung, Na. Dia janji nggak akan mengulang lagi kesalahannya.”

 

“Dan kamu percaya?”

 

“Hatiku masih terisi olehnya, Na.”

 

“Baik, jika itu sudah keputusannmu, aku tak akan memaksa. Hati nggak bisa dipaksa, Wi, dan aku bukan pemaksa.”

 

Jalan Braga hari ini terlihat cerah, dari lantai lima gedung ini, dapat kulihat lalu lalang kendaraan. Sebagian besar pekerja di sini hari Sabtu libur, aku yakin setiap orang yang memiliki pasangan ingin memberikan quality time-nya dengan orang terkasihnya, begitu pun aku, tapi siapa sangka laju hidup satu jam kedepan tak ada yang tahu, manusia hanya punya rencana.

 

Aku meraup muka dengan kasar, mungkin aku laki-laki yang terbilang bodoh karena terlalu banyak mengambil resiko, peluang besar patah hati sangat tinggi mengingat hubungan mereka sudah terjalin sejak berseragam putih biru.  Aku yang terlalu naif, ingin menjadi seorang kesatria berbaju putih dengan menunggang kuda putih lalu menyelamatkan sang putri yang sedang merana. Tapi inilah namanya cinta, aku sendiri sukar untuk mengartikannya, yang aku inginkan, dia bahagia meskipun itu bukan denganku.

 

-----


Berminggu-minggu aku sibukan dengan setumpuk pekerjaan, tak ada waktu untuk libur, semua akses yang terhubung dengannya aku tutup demi otakku agar tak terlalu mengingat akan dirinya. Aku mencoba perlahan melepaskannya meskipun itu sulit, memberikan dia waktu lebih lama lagi, sampai dia mengatakan ‘berhenti’, maka aku akan berhenti memberikannya waktu. Aku tak ingin kehadiranku menjadi beban untuknya. Biarlah hatinya menuntun kepada siapa dia akan berlabuh.

 

Hari ini aku pulang ke Bandung setelah seminggu melaksanakan tugas luar ke Surabaya. Memilih jalur transportasi kereta api, karena menurutku lebih rileks meskipun membutuhkan waktu yang lebih lama dibadingkan menggunakan transportasi udara.

 

Aku meminta adikku untuk menjemput, di stasiun Kiara Condong, rencana ingin langsung jalan-jalan ke BSM siapa tahu ada film yang kusuka. Barang bawaanku lumayan banyak satu koper pakaian, dan berkas-berkas kerja, satu tas besar berisi buah tangan untuk keluarga dan teman kantor, satu lagi tas laptop. Aku edarkan pandangan mencari sesosok adik bungsuku, namun yang kudapati dirinya. Mataku menyipit, mempertegas penglihatan, seorang wanita dengan memakai gaun berwarna merah marun –warna kesukaanku- sedang berjalan kearahku. Aku menoleh ke kanan ke kiri ke belakang jangan-jangan ada lelaki yang sedang menunggunya dibalik badanku. Dia memberikan senyuman, ragu aku membalasnya, dia membalas senyumku dengan terkembang, maka aku pun tak ragu lagi untuk memberikan senyuman lebih.

 

Pada jarak tiga langkah di langsung memelukku, sambil terisak.

 

“Maafkan, aku.”

 

“Sudah kubilang jangan ada kata maaf lagi!”

 

“Aku tahu apa yang kubutuhkan sekarang.”

 

“Apa?”

 

Kepalanya mendongkak, kami saling menatap, ada kesungguhan di matanya.

 

“Kamu.”

 

Aku pun tersenyum lalu memeluknya erat, menghidu aroma rambutnya yang kurindu … wanitaku.



Oleh Neng Sri

No comments:

Post a Comment