Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala

Wednesday 23 December 2020

LITERASI# PEREMPUAN YANG MEMBENCI HUJAN

 

literasi, novel,cerita,hujan,wanita,perempuan,artikel

Putri berlari ke kamar, duduk dengan memeluk lutut yang tertekuk di atas ranjang. Sekuat tenaga menutup telinga agar suara itu tidak terdengar. Tubuhnya gemetar, keringat bercucuran, degup jantungnya semakin bertalu berlomba dengan suara guruh dan guntur. Dengan memejamkan mata sambil merapalkan do’a agar suara itu cepat hilang, tapi sepertinya harapannya tidak terkabul, mengingat bulan ini musim penghujan datang. Mulutnya tak berhenti mengucap, “Ya Allah cepat pergi, berhenti, berhenti.”


Suara tetesan air yang jatuh ke bumi bagi Putri bagaikan ribuan jarum yang menusuk jantung, mengoyak tubuh yang lemah, membuat sayatannya semakin dalam. Suara guntur disertai petir seperti hantaman godam yang menimpa tubuh. Dulu Putri paling suka menghirup aroma tanah kering yang terguyur hujan -aroma petrikor-, tetapi sekarang aroma ini memuakkan indera penciumannya.


Lama menunggu berhentinya hujan, Putri mulai menangis, terisak perih mengingat peristiwa yang telah membuatnya terluka. Sebuah luka yang tak akan pernah sembuh. Putri mengeleng-gelengkan kepala, berharap ingatan itu sirna, tapi semakin Putri berusaha untuk menghapusnya kenangan itu malah semakin terlihat jelas. Bajunya basah dengan peluh yang tercipta, tanpa tersadar badannya ikut bergoyang tak tentu arah, Putri menjerit memukul-mukul kepalanya, “enyahlah dari kepalaku!” racaunya.


Setiap musim penghujan datang seperti memasuki lorong sempit yang gelap dan sunyi, saat itulah penderitaanya datang. Tak ada yang tahu apa yang telah dialaminya, Putri lebih memilih mengunci rapat meskipun itu  hanya akan membuatnya menderita sepanjang hidup, baginya itu adalah aib, tak ingin orang-orang memandang iba.


Tangisan dan jeritan Putri semakin melambat seiring guyuran air dari langit mereda, saat itulah penderitaannya berhenti sejenak. Lelehan air mata membuat nestapa jelas terlihat dalam bingkai wajah meredupkan sinar kecantikannya, dengan tubuh basah bermandikan keringat … lelah, itulah yang Putri rasakan.

 

-----

 

Seorang gadis kecil bersembunyi dibalik lemari baju, terduduk lemas, gemetar seluruh badan, napasnya tak beratur, tangan kanan memengang dada sebelah kiri, degupnya semakin kencang, tangan kiri membekap mulut sambil menggigit bibir bawah. Bola matanya melebar mengintip adegan demi adegan pada celah pintu lemari disertai lelehan air yang keluar membasahi pipi gembilnya, sesekali dia menutup mata tak kuasa melihat, ini terlalu menyakitkan baginya. Suara teriakan beradu kencang dengan hujan deras disertai gelegar petir membuat gendang telinganya sakit.


Ingin dia menjerit tapi teringat pesan sang bunda untuk diam jangan bersuara. Setelah sekian jam mendekam dalam ruang sempit persembunyian, lalu menjadi hening seketika. Tak terdengar lagi suara teriakan demi teriakan yang mengeluarkan cacian dan umpatan, tak ada lagi suara barang yang terlempar, tak ada lagi benda yang jatuh.


Butuh waktu bagi gadis sekecil dia untuk memutuskan keluar dari persembunyiannya, dengan tangan kecil gemetar pelan-pelan dia membuka pintu lemari. Dia tetap diam tak beranjak dari tempatnya duduk, meskipun pintu lemari sudah terbuka lebar, tertegun melihat pemandangan yang ada di depan mata.


Dengan merangkak gadis kecil memberanikan diri keluar, lalu perlahan menegakkan badannya, matanya terbelalak melihat sekeliling ruangan yang porak-poranda. Dengan kaki gemetar dia berjalan tertatih-tatih menghampiri wanita yang tergeletak di atas ranjang. Terisak pelan menggoyang-goyangkan tubuh wanita tersebut.


“Bunda bangun. Bunda bangun, Bunda!”


Ternyata wanita itu adalah ibunya, gadis kecil terus menerus membangunkan, tapi sang bunda tak juga membuka mata. Isakan pelan berganti dengan tangisan setelah menelusur seluruh tubuh sang bunda ternyata ada darah yang membasahi keningnya. Ketakutan mendera, gadis kecil menempelkan telinga ke dada sebelah kiri sang bunda, menirukan adegan yang pernah dia lihat. Dengan tersedu-sedu memastikan pendengarannya, lama … sampai akhirnya tangisnya pecah, meraung-raung memanggil sang bunda, menggoyang-goyangkan badan berharap goncangan di tubuh sang bunda  dapat membangunkan.


“Bunda bangun, Bunda. Putri takut. Bunda … Bunda bangun!”


Ditemani hujan deras, suara guntur dan petir saling bersahutan, Putri kecil terus meraung dan tak berhenti mengucap, “Bunda bangun. Putri takut.” tapi sayang sang bunda tak juga  bangun. Waktu terus merangkak, langit semakin pekat, jarum jam menunjukan ke angka 12, hujan pun belum berhenti. Putri kecil kelelahan setelah sekian lama menangis pilu sampai akhirnya tertidur sambil memeluk tubuh sang bunda.


oleh : Neng Sri

No comments:

Post a Comment