Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala
Showing posts with label Literasi. Show all posts
Showing posts with label Literasi. Show all posts

Monday 16 August 2021

Tentang Ayah



Ketika sedang menikmati keelokan cakrawala berwarna jingga, ditemani secangkir kopi susu di teras depan rumah kontrakan, beberapa saat setelah pulang bekerja, aku mendapatkan kabar yang mengentak jantung. Tidak perlu berpikir panjang, langsung menuju stasiun menjumpai seseorang yang sangat berharga dalam hidup. 

 

Tidak sekalipun mata terpejam padahal perjalanan membutuhkan waktu empat jam, cukup untuk mengistirahatkan tubuh, tidak bisa memungkiri hati dilanda gundah gulana mengingat usianya sudah lanjut serta penyakit degeneratif yang mengerogotinya.

 

“Ayah kamu tadi siang jatuh di kamar mandi,” ungkap Bibi Asih -adik almarhumah Ibu- yang tinggal di sebelah rumah.

 

“Katanya mau wudu, padahal azan Zuhur sejam lagi. Sudah dibujuk dari tadi tapi nggak mau ke dokter,” lanjutnya.

 

“Tapi tadi sudah diurut sama Uloh, katanya agak mendingan. Coba kamu yang bujuk, siapa tahu mau ke dokter,” tutur Mang Dasep -suami Bibi Asih.

 

Azan Isya telah berkumandang sejam yang lalu aku baru tiba di rumah, mendapati Ayah berada di kamar ditemani sanak saudara. Tubuh ringkihnya terbaring tidak berdaya di ranjang usang. Dengan napas tersengal-sengal dia melemparkan senyuman tulus. Senyum yang sedari dulu kami memperolehnya, senyum yang bisa membuat hidup kami tenang menghadapi kerasnya dunia, walaupun tanpa kekayaan berlebih, tetapi kami mendapatkan cintanya yang berlimpah ruah.

 

Aku menghampiri, tidak kuasa membendung tangisan, memeluk badannya yang semakin kurus, padahal dua minggu yang lalu bertemu badannya tidak sekecil ini. Ada apa denganmu, Ayah.

 

“Apa kabarmu, Dyah? Sehat, Nak?” tanyanya sambil mengelus rambutku lembut.

 

“Ayah tidak apa-apa, Nak, tidak perlu ke dokter.”

 

“Ayah hanya terkilir saja,” dalihnya.

 

“Kalau Ayah tidak mau ke dokter, tinggal dengan Dyah, ya, Ayah?” bujukku.

 

“Lalu meninggalkan rumah ini dalam keadaan kosong?” lirihnya.

 

“Tidak, Dyah.”

 

“Ayah tidak mau berpisah dengan Ibumu meskipun sekejap,” ucapnya sendu dengan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.

 

Kami yang sedang berkumpul saling memandang, sudah hapal betul karakter Ayah yang teguh pendirian.

 

“Biarkan Ayahmu istirahat dulu, Dyah,” ucap Mang Dasep.

 

Aku tidak beranjak, meninggalkan Ayah sendirian sungguh tak sampai hati.

 

“Ayah, mau Dyah bacakan buku atau mau dipijat?” tawarku sambil membetulkan letak selimut.

 

“Buku saja,” jawabnya pelan.

 

“Bukunya di samping sajadah, Dyah,” tunjuknya.

 

Aku menuju ke meja kecil dekat lemari, di sana terdapat peralatan Salat, mushaf Al-Qur’an, dan novel terjemahan Gone With The Wind -novel favorit mereka- yang sering dibaca bersama almarhumah Ibu. Aku mulai membaca, sesekali menoleh ke arahnya, terlihat matanya berkaca-kaca, tidak ingin membuatnya bersedih, aku berhenti.

 

“Kenapa berhenti, Dyah?”

 

“Dyah tidak mau Ayah bersedih lagi.”

 

“Ayah tidak sedih, Dyah. Biarkan Ayah mengenang Ibumu.”

 

Aku melanjutkan membaca tak kuasa menolak permintaannya meskipun hati enggan karena itu hanya akan membuat Ayah berduka terus. Pada halaman tiga puluh matanya perlahan mulai terpejam tidak lama kemudian dengkuran halus terdengar. Aku mencium keningnya, membetulkan selimutnya lagi, merapalkan do’a agar masa berkabungnya cepat berlalu.

 

Seorang lelaki turun bersama Ibu dari motor bebek warna merah di depan pagar. Aku meneliti penampilannya yang sangat jauh jika dibandingkan dengan Bapak. Bapak berperawakan tinggi tegap, berkulit putih, berpenampilan rapi, rambut hitam selalu klimis, serta jam tangan mewah menambah kesempurnaan.  Sedangkan lelaki ini berperawakan tinggi kurus, rambut sedikit bergelombang, berkulit gelap, baju lengan panjang ditambah jaket membuat siapa pun yang melihatnya berasa gerah.

 

Ibu memperkenalkannya sebagai teman sekolah sewaktu SMP. Lelaki itu duduk dengan kikuk berhadapan denganku, kepalanya terlalu banyak menunduk, jari jemari tangannya saling meremas, sesekali bertanya, tetapi pertanyaan yang membosankan, tidak seperti Bapak yang pandai melucu.

 

“Dyah sekarang sudah SMP, ya?” tanyanya.

 

“Ya,” ketusku dengan mendelik. Lalu dia diam dan menunduk lagi, lelaki yang aneh.

 

Tepat hitungan empat bulan sejak kami berdua pindah ke kampung halaman Ibu di Pangalengan, kami mendapat kabar bahwa Bapak telah menikah lagi dengan rekan kerjanya. Seharian Ibu mengurung diri di kamar, meskipun tertutup rapat pintunya tetapi aku dapat mendengar lirih suara tangisan Ibu. Berminggu-minggu aku seperti anak ayam yang kehilangan induknya, Bapak yang tengah bereuforia bersama istri barunya hingga lupa ada seorang anak yang memendam rindu, selalu menunggu dering telepon darinya, Ibu yang terlalu larut dalam kekecewaan, padahal aku pun tak kalah sakitnya.

 

Suatu hari di musim penghujan dua minggu menjelang ujian tengah semester, Ibu pulang bersama lelaki aneh itu lagi. Tanpa menghiraukan pakaiannya yang basah kuyup, Ibu sekonyong-konyong menghardikku, meskipun aku tidak dapat mengira kemarahannya kali ini begitu besar, tetapi aku bisa menebak alasannya, orang tua mana yang tidak akan murka mendapati laporan dari sekolah tentang kenakalan anaknya. Berapa puluh jam aku ditelantarkan, tidak mendapatkan lagi kehangatan darinya. Ibu ingin aku mengerti keadaan yang tak lagi sama, Ibu lupa aku pun ingin dimengerti. Sungguh egois. Entah keberanian darimana aku menatap balik dengan lancang menantang sampai mana keegoisan Ibu, hampir saja tangannya mendarat di wajahku kalau tidak dicegah oleh lelaki aneh itu.

 

“Dyah, masuk ke kamar dulu, ya, Sayang!” ujar lelaki aneh dengan lembut.

 

Perlahan tapi pasti rasa kecewa mulai terkikis, keberadaan lelaki aneh telah mengubah segalanya. Dia tipe lelaki yang pantang menyerah, selalu mengajak mengobrol di setiap kali bertemu padahal sahutanku hanya kata ‘hm’. Diawali rasa enggan berbicara kemudian berubah menjadi suka berbicara, hingga akhirnya tidak ada satu hari pun aku bercerita padanya, ternyata lelaki aneh adalah teman curhat yang paling nyaman.

 

Enam purnama semenjak Bapak memiliki kehidupan baru, aku dan Ibu memiliki kehidupan baru juga bersama lelaki aneh yang sekarang kupanggil Ayah … Ayah Aulian.

 

“Arimbi ….” Ayah mengigau memanggil nama Ibu.

 

“Ini Dyah, Ayah.” Aku mengenggam tangan keriputnya, tangan yang sering mengelus kepalaku lembut, bibirnya yang sering mengucap do’a ‘Robbi Habli Minassholihin’ di ubun-ubun lalu meniupnya, hingga aku sudah dewasa kebiasaan itu tidak pernah hilang.

 

“Arimbi, Neng ….” Panggilan sayang Ayah untuk Ibu.

 

Enam bulan setelah menikah, Ibu divonis dokter memiliki tumor dan harus kehilangan identitas kebanggaan seorang wanita, Ibu tidak akan pernah bisa mengandung.

 

“Aku menikahimu bukan karena ingin punya anak semata, aku memang mencintaimu sedari dulu. Sudah ada anak kita jika kamu lupa, Dyah Pitaloka, itu sudah lebih dari cukup buatku,” ucap Ayah menenangkan Ibu.

 

Ayah rela berhenti kerja di kota Bandung pindah ke Pangalengan merintis usaha yang digemari Ibu, yaitu bunga karena khawatir Ibu terlalu terbenam lagi dalam luka.

 

Ayah tidak berharta seperti Bapak, tetapi aku bisa melihat cinta yang besar untuk Ibu. Jika sore atau malam hari, Ayah membuatkan teh melati panas untuk Ibu, duduk di kursi rotan terkadang membaca novel atau hanya berbincang tak lupa selalu ada sekuntum bunga di atas meja, tangan mereka saling menggenggam erat sebagai tanda dalamnya ikatan cinta.

 

“Kenapa bunga mawar kuning?” tanya Ibu.

 

“Iya, sebagai tanda syukur, rahmat, dan kegembiraan,” jawab Ayah.

 

“Syukur berterima kasih sama Allah karena cinta pertamaku akhirnya bisa kumiliki, rahmat karena kalian berdua merupakan anugerah untukku, kegembiaraan karena hidupku kini bahagia bersama kalian,” lanjut Ayah.

 

“Aku yang seharusnya berkata itu untukmu,” ujar Ibu.

 

Ayah yang tidak pandai melucu seperti Bapak, tetapi Ayah merupakan sahabat yang baik, pendengar setia segala keluh kesahku, guru bijak ketika aku dirundung masalah, seorang imam yang selalu mengingatkan kewajibanku sebagai muslimah, seorang pemimpin cerdas.

 


Jika Ayah bisa berkorban banyak untuk kami, kenapa aku tidak? Ayah yang kesepian setelah ditinggalkan belahan jiwa meskipun sudah dua tahun berlalu tapi duka itu masih terlihat. Besok aku akan mengajukan resign pindah ke Pangalengan menemani Ayah meneruskan usaha pemasok untuk toko-toko bunga.

 

Adagium menyatakan darah lebih kental daripada air, ikatan keluarga lebih kuat daripada orang lain, meskipun tidak ada setetes darah pun yang sama dengan Ayah mengalir di tubuhku, tetapi ikatan kami sangat kuat bukan karena darah melainkan hati.



Oleh: Neng Sri

Monday 12 July 2021

Dustaku dan Secangkir Kopi


 

cerpen,cerbung,novel,kopi,dusta,cinta,romance

Pernahkah kamu melakukan gerakan karena dorongan hati? Pernahkah meyakini dengan kukuh bahwa ada seseorang bergerak sama denganmu meskipun berada pada ruang yang jauh? Aku dan dia sudah melakukan hal ini selama lima warsa. Setiap tanggal dua puluh satu Mei kami bertemu, sesulit apapun rintangannya kami selalu berhasil membuat dari musykil menjadi nyata. Tak perlu ada kesepakatan tertulis ataupun lisan yang keluar, hati telah ikrar sehingga tubuh bergerak kearah tujuan yang sama. Pada tempat dan waktu yang sama, kami selalu menepatinya.

 

Aku datang ke kedai lebih awal darinya kali ini, mungkinkah dia menyiapkan sesuatu? Ah ... tidak, aku tak mau menduga yang manis-manis, karena pada kenyataannya yang terjadi malah kebalikannya. Dari balik kaca terlihat hujan masih membasahi bumi. Aku tersenyum getir, gerimis, kedai, kopi, sore hari, berkelebatan dalam ingatan, suasana mirip seperti sekarang, layaknya deja vu lima tahun silam.

 

“Aauuww!” pekikku.

 

Ternyata bukan aku saja yang mengucapkan kata tersebut, disebelah kiri ada seorang laki-laki dengan pakaian basah –sama seperti keadaanku- masuk bersamaan, tentu saja pintu ini tidak akan muat dengan badan kami yang berhimpitan, kami sama-sama terjepit di pintu masuk kedai.

 

“Maaf.”

 

Lagi kami mengucapkan kata yang sama secara bersamaan.

 

Aku mundur mempersilakan dia masuk terlebih dahulu, pada saat yang sama dia pun melakukan hal itu, kami saling pandang sampai akhirnya dia mengayunkan tangan kanannya ke depan dengan sopan.

 

“Lady first,” ucapnya dengan tersenyum ramah.

 

Harusnya turun dari angkot hijau ini, aku naik angkot merah satu kali untuk sampai rumah, tapi begitu mataku melihat lurus ke depan ada sebuah kedai, tanpa berpikir panjang aku memutuskan menyebrang lalu masuk untuk berteduh sekaligus menghangatkan badan dengan secangkir kopi panas. Rasanya cukup menghabiskan senja yang basah sambil menikmati minuman favorit.

 

Ternyata suasana di dalam cukup ramai, mungkin orang-orang memiliki tujuan yang sama denganku, aku menoleh ke kiri, dia  menoleh ke kanan, otomatis  kami saling berpandangan, aku tersenyum kikuk berada pada posisi seperti ini.

 

“Kesana, yuk! Ada meja kosong,” ajaknya.

 

Terbersit ragu sesaat tapi akhirnya memutuskan untuk mengikuti langkahnya dari belakang.

 

“Tidak apa-apa kita satu meja?” Tanyaku

 

“Aku yang seharusnya nanya, kamu tidak apa-apa duduk denganku?” Dia balik bertanya.

 

Seorang pelayan menghampiri, memberikan kami selembar kertas.

 

“Robusta.” Pesan kami bersamaan.

 

“Tam--.” Lagi kami berbicara bersamaan tapi dia tidak melanjutkan, membiarkanku berbicara dahulu.

 

“Brwon sugar terpisah,” lanjutku.

 

“Aku lebih manis, pake susu.” Kami saling melempar senyum, lalu menekuri lagi kertas menu yang berada di atas meja.

 

“Pisang panggang,” ucap kami serentak, kami saling tertawa.

 

“Kompakan lagi, dapet piring, nih.” Kelakar sang pelayan.

 

Lalu kami pun tertawa lagi.

 

“Ada lagi?” Tanyanya dengan sikap tangan kiri dilipat diatas meja sedangkan tangan kanan menagkup pipi, sambil memandangku. Aku pun risih dibuatnya.

 

“Cukup.” Jawabku.

 

Dalam waktu singkat kami memiliki pikiran yang sama. Kebetulan? Entahlah. Seperti awal pertemuanku dengannya, apakah kebetulan juga? Tidak, semua sudah di gariskan. Aku menghela nafas pendek, tak patut kiranya menyesali sebuah takdir, bukankah sebuah keputusan sudah diambil.

 

"Hai, sudah lama nunggu, maaf, ya?" sapanya, aku gelagapan tak kusadari kedatangannya atau mungkin terlalu asik pikiranku menjelajah kebelakang. Aku menggeleng sambil memberikan senyuman termanis.

 

"Tidak, masih bisa ditoleransi, kok, telatnya," hiburku.

 

Rambut hitam kriting dikuncir, kemeja biru digulung hingga siku, celana panjang berbahan jeans biru, penampilannya sedikit basah tapi itu tak mengurangi pesonanya. Jika saja status kami berbeda, ingin kutenggelamkan pada dada bidangnya, mendengarkan irama jantungnya, menceritakan keresahan, meluahkan rindu yang menyiksa.

 

"Rambutnya, sengaja dipanjangin?" Tanyaku.

 

"Iya, cari suasana baru.”

 

“Sekarang Mochachino?” Dia melihat kopi dihadapanku.

 

“Iya.”

 

“Seleranya sudah berubah? Kenapa?”

 

“Cari suasana baru.” Jawabku mengcopy ucapannya.

 

“Tapi masih robusta?” Kejarnya.

 

“Tidak, ini arabika.”

 

“Oh,” ucapnya pelan.

 

“Untuk akang, sudah dipesan?"

 

"Belum, takut berubah selera."

 

Dia diam menatapku lekat, "Neng, tahu, selera akang tetap sama sekarang hingga nanti."

 

Aku mengalihkan pandangan, entah ditujukan untuk apa ucapannya tersebut. Jantungku berdegup kencang, ditatap sedemikian rupa tetap membuat wajahku menghangat, ah ... rasa itu ternyata masih bertahta.

 

Lalu kami terdiam cukup lama, hingga pesanan kopinya datang.

 

"Apa kabarmu, Neng?"

 

"Baik, Akang?"

 

"Sama seperti, Neng."

 

"Masih kerja? Suami yang nyuruh, Neng, kerja?"

 

"Tidak."

 

“Mengenai gaji, aku hanya mengambil untuk bensin dan untuk makanku saja selebihnya diserahkan semua untuk ibu beserta adik-adikku, mereka masih tanggung jawabku sepenuhnya. Aku harap kamu mengerti.”

 

Meskipun terkejut dengan keputusannya yang sepihak, aku hanya mengangguk tanda mengerti posisinya sebagai kakak tertua yang memiliki dua adik perempuan yang masih bersekolah dan seorang adik laki-laki yang baru masuk kuliah.

 

“Untuk nafkah aku belum bisa memenuhinya, uang gaji kamu untuk kebutuhanmu sendiri tidak perlu memikirkan kebutuhanku.”

 

Lagi aku hanya bisa mengangguk paham.

 

“Hei!” Dia menjentikan jarinya tepat di depan wajah, menarik pikiranku yang sedang melayang ke awal pernikahan.

 

“Bener, Neng baik-baik saja?” Raut khawatir tergambar jelas.

 

"Baik, tidak perlu cemas seperti itu. Kabar istri dan anak, Akang?"

 

"Yakin ingin tahu kabar mereka?"

 

Mengucapkan kata ‘anak’ ada yang tercubit di dalam dada, untungnya pekerjaanku setiap hari berinteraksi bersama anak-anak, itu sudah cukup mengobati kerinduan akan sosoknya.

 

“Kalau ada waktu kita pergi ke bidan, konsultasi kontrasepsi apa yang cocok denganmu, aku belum siap memilik anak. Bukan tidak mau hanya keadaan tidak memungkinkan.”

 

Satu kejutan lagi di awal pernikahan, ingin membantah tapi akhirnya aku memahami jalan pikirannya.

 

“Untuk itu, maaf aku belum bisa menyentuhmu.”

 

Untuk kesekian kalinya aku mengangguk patuh.

 

"Akang tidak mau menjawab, jika nyatanya melukai. Apa hidup bersamanya, Neng, bahagia?"

 

Bahagiakah aku? Entahlah sejak lima tahun silam arti kata bahagia menjadi sangat rancu buatku.

 

"Tentu saja. Akang?"

 

“Melihat mereka bahagia itu sudah cukup membuat akang bahagia. Akang sudah melaksanakan tugas sebagai seorang anak, suami dan seorang ayah. Jangan menuntut akang lebih jauh lagi, akang belum bisa.”

 

“Maafkan bapa melibatkanmu. Kamu satu-satunya perempuan yang sedang dekat dengan anak bapa, siapa tahu dia mau mendengarkanmu, kasihan ibunya sakit gara-gara memikirkan ini.”

 

Suatu hari di jam makan siang ada seorang laki-laki paruh baya menemuiku. Meminta bukan sekali dua kali tapi lebih, mana mungkin aku menolak permohonannya apalagi mendengar sang istri sakit. Sang keponakannya sedang mengandung benih tanpa tahu siapa lelaki yang bisa diseret untuk mempertanggungjawabkannya.

 

Kedekatan kami belum genap satu tahun dihitung awal bertemu di kedai, perlu proses yang tidak sebentar untuk bisa merubah pendiriannya ada perdebatan alot di dalamnya.

 

“Melaksanakan titah orang tua sebagai tanda bakti Akang untuk mereka. Mereka sudah berkorban untuk Akang, mungkin sekarang saatnya giliran, Akang, coba lihatlah dari sisi lain.”

 

“Neng, ingin tahu mengapa akang menolak usulan mereka semua?”Dia menatapku tajam.

 

Aku menggeleng.

 

“Karena, Neng.” Suaranya meninggi.

 

“Maksudnya?”

 

“Apa, Neng tidak ada rasa lain sedikitpun untuk akang?”

 

Aku tidak langsung menjawab, perlu tarikan napas yang dalam untuk mengatur degup jantung, memalingkan kepala ke samping agar rasa ini tak terbaca lewat wajah. “Tidak.” Tegasku.

 

”Pembohong!” Terdengar derit kursi bergeser cukup keras, dia pergi dengan membawa amarah, menutup pintu kedai dengan emosi, hingga orang-orang yang berada di dalam semua berpaling menatap ke arah yang sama.

 

Sejak perdebatan itu lima purnama kami tidak bertemu. Sampai pada musim kemarau panjang, ketika matahari sedang terik-teriknya, lelaki paruh baya menemuiku lagi dengan tergopoh, menyerahkan sebuah kartu dan berucap, “terima kasih atas bantuannya.”

 

“Sudah mau magrib. Pulanglah yang di rumah sedang menanti.”

 

“Kita pulang bareng!”

 

“Duluan saja, masih ingin di sini.”

 

“Ada suami sedang menunggu.”

 

“Dia sedang lembur hari ini.”

 

“Baiklah, jaga diri dengan baik, jangan sampai telat makan!”

 

Aura pulang berbanding terbalik ketika datang, seiring punggungnya tak terlihat dari pandangan, ada yang terhempas dan terasa hampa . Tak ada orang yang sedang menanti kedatanganku di rumah, dia pergi entah sampai kapan, dan aku seperti biasa akan memeluk dalam kesunyian.

 

“Aku dipindahkan ke kantor cabang, di sana gajinya lebih besar, aku harus pergi, ini bukan untuk keluargaku saja tapi ini untukmu juga.”

 

Sudah dua tahun semenjak dia mengucap kalimat itu, hingga kini tak ada kabar lagi, begitu pun dengan ibu beserta adik-adiknya, mereka raib bak di telan bumi.

 

Aku memanggil pelayan, memesan kopi robusta dengan brown sugar terpisah, selera yang tak kan pernah berubah, dengan hujan yang masih setia menemani dan secangkir kopi yang menjadi saksi dustaku selama ini.



Oleh Neng Sri

Friday 9 July 2021

Akhir Pencarian #Part 1

 

kabut,halimun,embun,pagi,sugai,mahakam,ulu,kaltim,cerpen,cerbung,novel

Waktu menunjukan pukul tujuh lewat. Aku membuka jendela, hawa dingin langsung terasa, membuat tubuh menggigil. Dari semalam rintik hujan terdengar sekarang pun gerimis masih terlihat. Di depan sana halimun menghiasi pagi. Sebuah pemandangan indah.

 

Aku melangkah ke belakang, rasanya pagi yang syahdu sayang kalau dilewatkan tanpa ditemani sesuatu. Segera aku meracik minuman cokelat panas -your favorite, sengaja memilih minuman ini.

 

Aku duduk di teras depan, pada sebuah kursi klasik yang berjumlah dua, di antaranya ada meja bundar berhiaskan kaktus kecil dengan pot putih.

 

"Aku suka pohon kaktus. Tahu kenapa?"

 

"Tidak perlu repot mengurusnya."

 

"Nggak nyangka tanaman yang biasa tumbuh di gurun sekarang jadi tanaman hias buat di rumah."

 

"Ternyata waktu terus bergulir, zaman juga ikutan berubah."

 

"Kira-kira, menurut kamu, besok-besok tren apalagi soal tanaman?"

 

Aku terus menatapmu, senyum tak pernah lepas dari wajahku. Mendengar celotehanmu sudah cukup membuat hidupku lebih berwarna.

 

"Aku nggak tahu, Nay." Aku gelagapan, ketika diajukan pertanyaan, terlalu asik memindai dirimu.

 

"Ck ... nggak seru!"

 

Kamu mencebik, wajah merenggutmu malah membuatku gemas.

 

"Aw ... sakit!" ucapmu sambil mengusap pipi yang kemerahan karena cubitanku.

 

Aku mengusap wajah kasar. Mengingat obrolan kita waktu membeli tanaman kaktus kecil, awal dari kau menggilai tanaman kecil itu. Dominan tanaman dipenuhi kaktus mulai dari yang murah sampai yang mahal. Aku menoleh ke samping, pada kursi rotan yang tergantung pada plafon. Biasanya kau yang duduk di situ, menghabiskan sisa waktu yang sedikit lagi berakhir.

 

“Aku yang pilih kursinya, ya!?”

 

“Heem.”

 

“Cuma ‘hm?’ sumbang saran, dong!”

 

“Pilihanmu, pilihanku juga. Kau yang nanti jadi ratunya. Aku nggak mau ribet urusan perabot rumah.”

 

“Aku pilih yang ini. Multi fungsi, bisa sekalian jadi ayunan, tinggal beli bantal jadi nyaman. Duh, nggak sabar pengen nyoba nanti.”

 

Kamu sangat ekspresif, Nay. Binar matamu, gestur tubuh, tawamu, membuatku geleng kepala. Kamu selalu seperti bocah yang baru dapat kejutan. Tak bisa dipungkiri hal ini lah yang membuatku jatuh hati tiada henti. Gadis berwajah ceria.

 

Aku menyeruput minuman kesukaanmu, sambil memejamkan mata membayangkan dirimu yang sedang menikmati secangkir cokelat panas. Kau mencium aroma coklat, mata indahmu tertutup, menghirupnya dalam, begitu menghayati, perlahan kau meminumnya sedikit, lalu terbukalah binar mata beriringan dengan lengkungan bibir merah mudamu. Cantik. Sempurna di mataku. Aku hapal detail cara kau menikmati secangkir cokelat panas. Aku merindukanmu, Nay. Sangat.

 

Ck … kenapa pagi yang indah harus kurasakan sesak?

 

Dua purnama sudah terlewati, namun, hingga kini keberadaanmu masih tersembunyi, gelap sepekat malam. Tak terhitung berapa kali aku bertandang ke kantor tempatmu bekerja. Namun, yang kudapat jawaban yang selalu sama, sampai mereka jemu menjawab pertanyaan-pertanyaanku, tapi aku tak peduli dengan tatapan kesal mereka. Aku hanya ingin kau kembali. Kemanakah dirimu, Nay?

 

“Tidak bisakah tugas ini diberikan sama orang lain, Nay?”

 

“Nggak bisa, aku sendiri yang mengajukan ini.”

 

Pekerjaanmu, hobimu, your passion di situ, dan aku tak bisa melarangmu. Aku bukan tak menyukai pekerjaanmu, Nay, melainkan risau ketika kau berada di luar lapangan, terlebih medan yang kau tempuh kali itu.

 

“Tenang saja, ada Putra yang jagain aku.”

 

“Jangan khawatir, Bro, tunanganmu aman samaku.”

 

“Ingat, enam bulan lagi!”

 

Aku menatap sendu kepergianmu. Tubuh mungilmu tenggelam dalam ransel besar yang tersampir di punggung, tapi itu tak mengubah gerak lincahmu berjalan, mungkin kau sudah terbiasa dengan barang seperti itu, sungguh itu membuatku khawatir. Sesaat sebelum masuk, kau berbalik memandang kearahku, meskipun dari jarak yang tidak dekat aku dapat melihat ada kabut dalam matamu, lalu memberikan senyuman yang tak biasa, beratkah kau meninggalkanku, Nay? Kau melambaikan tangan dan memberikan ciuman jarak jauh. Aku tersenyum melihat polah tingkahmu. Namun, senyumku memudar seiring tubuhmu hilang dari pandangan, terbersit rasa takut akan kehilanganmu.

 

Ditemani Galang dan Lutfan, mengajukan cuti kerja, berharap pencarian kali ini akan menemukan titik terang. Bertiga kami mengumpulkan informasi untuk melakukan pencarian. Meskipun jarak yang harus dilalui tidaklah mudah untukku yang terbiasa bekerja dibalik meja komputer, tapi tidak bagi Galang dan Lutfi, dua sahabat yang berprofesi sebagi polisi dan jurnalis, mereka terbiasa bekerja di alam terbuka. Namun, demi menemukanmu aku nekad mencari sampai ke tempat terakhir kau menunaikan tugas bersama Putra.

 

Tepat pada saat pancaran matahari tepat di atas kepala, kami sampai di kota Samarinda setelah menempuh dua jam lebih dari Balikpapan. Perjalanan belum usai kami harus menempuh kurang lebih 314 kilometer untuk mencapai Ujoh Bilang Ibu Kota Kabupaten Mahakam Ulu. Butuh dua hari untuk sampai di kabupaten termuda di Bumi Etam. Kami mencari penginapan, mengumpulkan tenaga dan pikiran untuk perjalanan besok. Rencana menggunakan transportasi sungai, menumpang longboat yang akrab dikenal dengan istilah taksi air.

 

Sebenarnya bisa saja kami menggunakan jalur udara, tetapi tidak ada jaminan bisa cepat berangkat karena jam terbangnya hanya tiga kali seminggu dari Samarinda serta minimnya kapasitas penumpang yang dibatasi, itu pun tidak sampai langsung ke Ujoh Bilang sekitar lima sampai enam jam perjalanan lagi menggunakan speedboat.

 

Bertolak dari Dermaga Sungai Kunjang sekitar pukul tujuh pagi, dengan menaiki KM Dayak Lestari, berukuran sekitar 25x6 meter, haluan taksi air perlahan membelah ombak Sungai Mahakam yang cukup tenang, padahal hujan tadi malam mengguyur. Menyusuri pinggiran sungai, satu per satu kampung yang ada di tepi sungai dilewati. Pesona dan keindahan alam hulu Mahakam yang masih didominasi hutan lebat seakan menjadi penyejuk suasana selama perjalanan. Para penumpang tidak ada yang mabuk kecuali aku, mereka menikmati suasana perjalanan, berbanding terbalik denganku, cukup kepayahan dengan rasa yang menyiksa ini.

 

 

Akankah aku menemukanmu di sini, Nay?



Oleh Neng Sri

 

Tuesday 6 July 2021

Gara-Gara Status

 

status,rampok,cerpen,perkosa,selingkuh,pamer

[Terima kasih sayang sudah beliin aku ini, love u lah pokoknya]

 

Statusnya hari ini, foto kalung emas menghiasi kalimatnya. Fuih … lagi dia memperlihatkan koleksi emasnya, eh bukan memperlihatkan tapi memamerkan. Duh … kok aku gerah, ya? Eh bukan gerah karena dia pemer emas tapi gerah karena sudah puluhan kali aku nasehatin tetep aja dia nggak gubris.

 

[Mimin, kebiasaan deh kamu, pamer-pamer. Apa nggak takut dirampok?] Chatku pada Mimin.

 

[Yey … biarin atuh Ninis, emas punyaku, suamiku yang ngasih, bukan suami kamu] Balasnya.

 

[Kamu mungkin nggak tahu, di luar sana banyak perempuan pengen suami seperti kang Atep-mu dan siapa tahu ada yang ingin menginginkan suamimu dengan mendapatkan segala cara]

 

[Ya elah … kang Atep itu cinta mati sama Mimin, Nis. Tahu sendiri, kan dia ngejar-ngejar aku. Kalau ada yang ingin merebut kang Atep langkahi dulu mayatku] sesumbar Mimin membuatku mengelus dada.

 

[Ya udah, aku dah kasih tahu ya, kalau ada apa-apa jangan minta bantuanku]

 

Aku pun melanjutkan aktifitas harian dengan hati ngedumel.

 

[Iri? bilang bos]

 

Statusnya beberapa saat kemudian, memang menyebalkan ini orang.

 

‘Dasar kepala batu, otak udang,’ sungutku dalam hati. Mau blokir nomornya aku nggak sampai hati. Dia itu bukan orang kaya baru mengenal HP canggih ataupun baru masuk dunia sosmed, dari jaman sekolah putih abu sampai sekarang umur udah kepala tiga masa mau dibilang baru kenal dunia maya. Pamer uang merah gambar pahlawan proklamasi dijejerin kaya kipas jepret share entah itu di Wa ataupun di FB. Pamer kemesraan bareng suaminya juga nggak kalah tinggi ratingnya dengan pamer kekayaan, entah itu pose mesra bareng ataupun SS chat mesra dengan suaminya.

 

Meskipun chatnya jutek dan ngeselin, mulutku sampai berbusa karena nasehatin, tapi aku nggak kapok untuk mengingatkan begitu pun dia meskipun aku sering ngomel-ngomel, marah-marah, dia tetap curhatnya ke aku, kalau butuh sesuatu pasti ngetuk pintu rumahku, begitulah kami adanya, ‘persahabatan bagai kepongpong’ kalau kata judul lagu.

 

Mimin dan aku brojol pada waktu yang sama, main bareng sejak kami bisa lihat dunia sampai sekarang, sekolah apalagi dari TK sampai SMA temen sebangku. Nggak bosen? Kadang sih ngerasa jenuh namanya juga hubungan, tapi sampai sekarang kami bisa mengatasi kebosanan. Jadi seabsrud apapun persahabatan kami nyatanya masih terjalin hingga kita punya suami dan anak-anak.

 

Dulu orang tua kami rumahnya sebelahan, lucunya sekarang kami pun rumahnya bersebrangan. Awalnya beda kampung, tapi Mimin nyusul pindah deket rumahku, katanya di kampung sebelah nggak ada orang yang bisa direcokin, alasan! Dia itu orangnya gampang akrab, supel, humoris hanya saja terkadang implusif dalam bertindak nggak dipikir jauh apa dampak tindakannya, yang paling betah sahabatan dengannya tuh dia nggak pelit, hehehe.

 

Malam Minggu hari ini keluarga suami ada acara, adik Kang Adang –ayah dari anak-anakku- yang bungsu berhasil naik jabatan di tempat kerjanya. Kami diajak merayakan kesuksesannya dengan mentraktik makan sekeluarga sebagai wujud syukur. Disinilah kami di rumah makan Saung Abah dengan konsep tradisional, terdapat beberapa saung yang beratapkan jerami padi dan daun kelapa kering dengan tempat duduk lesehan, kita memilih saung yang cukup besar karena rombongan lumayan banyak, sebrang saung tempat kami ngumpul kurang lebih berjarak enam meter ada beberapa saung mungil cocok untuk keluarga kecil.

 

“Umi, Umi, lihat itu papahnya Yura!” seru Nafis, anakku yang berusia enam tahun ketika sedang menikmati makan.

 

“Mana?” tanyaku, celingak celinguk.

 

“Itu yang lagi jalan sama perempuan baju pendek,” terangnya.

 

Deg.

 

Baju pendek? Mimin kan pake jilbab. Seketika aktifitas menyuap aku hentikan, mencari sosok yang dikatakan Nafis. Kakiku langsung lemas, dada bergumuruh melihat pemandangan dari jauh kulihatk kang Atep –suami Mimin- menggandeng mesra perempuan seksi, eh … tapi tunggu, bukankah itu Pipih teman sekelas SMA kami? Kurang ajar harus dikasih pelajaran ini manusia. Baru saja aku mau beranjak tapi tanganku dicekal oleh Kang Adang.

 

“Jangan gegabah, Umi.”

 

“Tapi Abi itu suami Mimin sahabat Umi. Umi nggak bisa diam Abi.”

 

“Kita lihat dulu, Umi, siapa tahu tidak seperti yang kita pikirkan.”

 

“Mata Abi rabun, ya!? Udah jelas itu gandengan tangan, mana itu si Pipih kepalanya gelendotan ke bahu kang Atep, menjijikkan!”

 

“Iya istriku sayang, jangan sekarang, kita lihat dulu sejauh mana Kang Atep khilaf, sambil mengawasi kita nikmati makan malam, oke? Kita cari nanti jalan keluarnya.”

 

Huft, kalau saja bukan suami yang ngomong sudah kulabrak itu manusia tidak bermoral. Pipih kan jelas-jelas tahu kalau kang Atep suami Mimin, waktu renunian tahun kemarin kan kenalan. Tenggorokannku jadi seret, duh … jangan-jangan, ah … pikiranku mengasumsikan kemana-mana.

 

Aku buka aplikasi berwarna hijau langsung lihat statusnya Mimin.

 

[Duh malam minggu sendirian aja nih, paksu ma anak pergi ke rumah omanya]

 

[Min, kamu sendirian? Jangan informasikan keadaan rumah dong, Min. Nanti maling datang, baru nyaho, lho]

 

[Buat seru-seruan aja, Ninis. Ih, bawel kamu]

 

Duh ini manusia dableg, ya. Lalu tak lama kemudian foto selfi sedang di kamar dia share lagi.

 

[Mimin nanti ada yang ngincar kamu, gimana?]

 

[Bagus dong, Nis. Itu artinya meskipun sudah beranak aku masih terlihat cantik dan menarik] disertai emotikon menjulur lidah.

 

[Lagian seru liat komentar-komentar, menghalau sepi Nis. Udah, ih, sana nikmati malam mingguanya]

 

[Nanti kalau kang Atep-mu di gondol pelakor baru deh kamu nangis kejer]

 

[Nggak mungkin kang Atep-ku tercinta seperti itu, lha bininya aja masih terlihat seksi]

 

Aku balas chatnya dengan emotikon marah berjejer. Makan malam kali ini tidak bisa aku nikmati seutuhnya, pikiranku terkuras sahabatku, kasihan sekali dia.

 

Kami pulang ke rumah mertua, jadwalnya malam ini memang di rumah beliau untuk menginap. Sebelum beranjak tidur kami membahas rumah tangga sahabatku, mengapa sampai Kang Atep selingkuh dan mencari cara bagaiman menyadarkan suami yang lagi salah jalan. Sampai jam satu malam mataku tidak mau terpejam, resah gelisah ingin cepat-cepat hari esok tiba. Tiba-tiba gawai di nakas berbunyi, terlihat nama Mimin, cepat aku angkat, firasatku pasti ada apa-apa yang sedang terjadi.

 

“Hallo,  Min, ada apa?” tanyaku, tapi aku hanya mendengar tangisan Mimin dan suara gaduh beserta beberapa suara orang asing. Aku langsung membangunkan suami.

 

“Abi, Abi bangun! Mimin nangis sesegukan dan ada suara ramai. Bi cepat kita harus pulang!” ajakku.

 

“Ni-Nis … a–aku mau diperkosa.” Dengan lirih terbata-bata beradu dengan tangisan, aku terpaku, membayangkan nasib yang menghampiri sahabatku. Hatiku teremas pilu, menyayat kalbu.

 

“Abi coba telepon pa Rt atau siapa saja yang dekat dengan rumah kita!” Lemas aku meminta.

 

Dengan mimik muka yang masih binging, suamiku pun menuruti permintaanku mungkin melihat istrinya yang tiba-tiba lemas. Akhirnya panggilan suamiku ada yang menjawab, alhamdulillah. Aku coba telepon lagi Mimin, tapi tak juga diangkat. Aku paham mungkin saat ini dia syok berat, mudah-mudahan di sana ada orang yang menenangkan Mimin, aku menghapus air mata yang tanpa kusadari membasahi pipi.

 

“Pelakunya kang Ujang dan kang Yudi, Umi.”

 

Kang Ujang pemuda pengangguran masih satu Rt dan kang Yudi penduduk Rw sebelah. Menurut penjelasan pak Rt hal mengerikannya tidak sampai terjadi, Mimin bisa berontak dan teriak minta tolong, kebetulan malam minggu pak Rt dan empat warga lain sedang kebagian tugas jaga keamanan warga. Kang Ujang memang sudah lama mengincar Mimin, katanya dia tergiur wajah cantik dan body langsing Mimin, entah bagaimana ceritanya sampai tahu status-status yang dibuat Mimin. Setali dengan kang Ujang, kang Yudi pun sudah lama mengincar perhiasan Mimin. Mereka berdua bersekongkol.

 

Malam itu juga aku  minta diantar pulang, akan ku peluk erat sahabatku.



Oleh Neng Sri