Pernahkah kamu melakukan gerakan karena dorongan hati? Pernahkah meyakini dengan kukuh bahwa ada seseorang bergerak sama denganmu meskipun berada pada ruang yang jauh? Aku dan dia sudah melakukan hal ini selama lima warsa. Setiap tanggal dua puluh satu Mei kami bertemu, sesulit apapun rintangannya kami selalu berhasil membuat dari musykil menjadi nyata. Tak perlu ada kesepakatan tertulis ataupun lisan yang keluar, hati telah ikrar sehingga tubuh bergerak kearah tujuan yang sama. Pada tempat dan waktu yang sama, kami selalu menepatinya.
Aku
datang ke kedai lebih awal darinya kali ini, mungkinkah dia menyiapkan sesuatu?
Ah ... tidak, aku tak mau menduga yang manis-manis, karena pada kenyataannya
yang terjadi malah kebalikannya. Dari balik kaca terlihat hujan masih membasahi
bumi. Aku tersenyum getir, gerimis, kedai, kopi, sore hari, berkelebatan dalam
ingatan, suasana mirip seperti sekarang, layaknya deja vu lima tahun silam.
“Aauuww!” pekikku.
Ternyata bukan aku saja yang mengucapkan
kata tersebut, disebelah kiri ada seorang laki-laki dengan pakaian basah –sama
seperti keadaanku- masuk bersamaan, tentu saja pintu ini tidak akan muat dengan
badan kami yang berhimpitan, kami sama-sama terjepit di pintu masuk kedai.
“Maaf.”
Lagi kami mengucapkan kata yang sama
secara bersamaan.
Aku mundur mempersilakan dia masuk
terlebih dahulu, pada saat yang sama dia pun melakukan hal itu, kami saling
pandang sampai akhirnya dia mengayunkan tangan kanannya ke depan dengan sopan.
“Lady first,” ucapnya dengan
tersenyum ramah.
Harusnya turun dari angkot hijau
ini, aku naik angkot merah satu kali untuk sampai rumah, tapi begitu mataku
melihat lurus ke depan ada sebuah kedai, tanpa berpikir panjang aku memutuskan
menyebrang lalu masuk untuk berteduh sekaligus menghangatkan badan dengan
secangkir kopi panas. Rasanya cukup menghabiskan senja yang basah sambil
menikmati minuman favorit.
Ternyata suasana di dalam cukup
ramai, mungkin orang-orang memiliki tujuan yang sama denganku, aku menoleh ke
kiri, dia menoleh ke kanan,
otomatis kami saling berpandangan, aku
tersenyum kikuk berada pada posisi seperti ini.
“Kesana, yuk! Ada meja kosong,”
ajaknya.
Terbersit ragu sesaat tapi akhirnya
memutuskan untuk mengikuti langkahnya dari belakang.
“Tidak apa-apa kita satu meja?”
Tanyaku
“Aku yang seharusnya nanya, kamu
tidak apa-apa duduk denganku?” Dia balik bertanya.
Seorang pelayan menghampiri,
memberikan kami selembar kertas.
“Robusta.” Pesan kami bersamaan.
“Tam--.” Lagi kami berbicara bersamaan
tapi dia tidak melanjutkan, membiarkanku berbicara dahulu.
“Brwon sugar terpisah,” lanjutku.
“Aku lebih manis, pake susu.” Kami
saling melempar senyum, lalu menekuri lagi kertas menu yang berada di atas
meja.
“Pisang panggang,” ucap kami
serentak, kami saling tertawa.
“Kompakan lagi, dapet piring, nih.”
Kelakar sang pelayan.
Lalu kami pun tertawa lagi.
“Ada lagi?” Tanyanya dengan sikap
tangan kiri dilipat diatas meja sedangkan tangan kanan menagkup pipi, sambil
memandangku. Aku pun risih dibuatnya.
“Cukup.” Jawabku.
Dalam
waktu singkat kami memiliki pikiran yang sama. Kebetulan? Entahlah. Seperti
awal pertemuanku dengannya, apakah kebetulan juga? Tidak, semua sudah di
gariskan. Aku menghela nafas pendek, tak patut kiranya menyesali sebuah takdir,
bukankah sebuah keputusan sudah diambil.
"Hai,
sudah lama nunggu, maaf, ya?" sapanya, aku gelagapan tak kusadari
kedatangannya atau mungkin terlalu asik pikiranku menjelajah kebelakang. Aku menggeleng
sambil memberikan senyuman termanis.
"Tidak,
masih bisa ditoleransi, kok, telatnya," hiburku.
Rambut
hitam kriting dikuncir, kemeja biru digulung hingga siku, celana panjang berbahan
jeans biru, penampilannya sedikit basah tapi itu tak mengurangi pesonanya. Jika
saja status kami berbeda, ingin kutenggelamkan pada dada bidangnya,
mendengarkan irama jantungnya, menceritakan keresahan, meluahkan rindu yang
menyiksa.
"Rambutnya,
sengaja dipanjangin?" Tanyaku.
"Iya,
cari suasana baru.”
“Sekarang
Mochachino?” Dia melihat kopi dihadapanku.
“Iya.”
“Seleranya
sudah berubah? Kenapa?”
“Cari
suasana baru.” Jawabku mengcopy ucapannya.
“Tapi
masih robusta?” Kejarnya.
“Tidak,
ini arabika.”
“Oh,”
ucapnya pelan.
“Untuk
akang, sudah dipesan?"
"Belum,
takut berubah selera."
Dia
diam menatapku lekat, "Neng, tahu, selera akang tetap sama sekarang hingga
nanti."
Aku
mengalihkan pandangan, entah ditujukan untuk apa ucapannya tersebut. Jantungku
berdegup kencang, ditatap sedemikian rupa tetap membuat wajahku menghangat, ah
... rasa itu ternyata masih bertahta.
Lalu
kami terdiam cukup lama, hingga pesanan kopinya datang.
"Apa
kabarmu, Neng?"
"Baik,
Akang?"
"Sama
seperti, Neng."
"Masih
kerja? Suami yang nyuruh, Neng, kerja?"
"Tidak."
“Mengenai gaji, aku hanya mengambil untuk bensin dan untuk
makanku saja selebihnya diserahkan semua untuk ibu beserta adik-adikku, mereka
masih tanggung jawabku sepenuhnya. Aku harap kamu mengerti.”
Meskipun terkejut dengan keputusannya yang sepihak, aku
hanya mengangguk tanda mengerti posisinya sebagai kakak tertua yang memiliki dua
adik perempuan yang masih bersekolah dan seorang adik laki-laki yang baru masuk
kuliah.
“Untuk nafkah aku belum bisa memenuhinya, uang gaji kamu
untuk kebutuhanmu sendiri tidak perlu memikirkan kebutuhanku.”
Lagi aku hanya bisa mengangguk paham.
“Hei!” Dia menjentikan jarinya tepat
di depan wajah, menarik pikiranku yang sedang melayang ke awal pernikahan.
“Bener, Neng baik-baik saja?” Raut
khawatir tergambar jelas.
"Baik,
tidak perlu cemas seperti itu. Kabar istri dan anak, Akang?"
"Yakin
ingin tahu kabar mereka?"
Mengucapkan
kata ‘anak’ ada yang tercubit di dalam dada, untungnya pekerjaanku setiap hari
berinteraksi bersama anak-anak, itu sudah cukup mengobati kerinduan akan sosoknya.
“Kalau ada waktu kita pergi ke
bidan, konsultasi kontrasepsi apa yang cocok denganmu, aku belum siap memilik
anak. Bukan tidak mau hanya keadaan tidak memungkinkan.”
Satu kejutan lagi di awal pernikahan,
ingin membantah tapi akhirnya aku memahami jalan pikirannya.
“Untuk itu, maaf aku belum bisa
menyentuhmu.”
Untuk kesekian kalinya aku
mengangguk patuh.
"Akang
tidak mau menjawab, jika nyatanya melukai. Apa hidup bersamanya, Neng,
bahagia?"
Bahagiakah
aku? Entahlah sejak lima tahun silam arti kata bahagia menjadi sangat rancu
buatku.
"Tentu
saja. Akang?"
“Melihat
mereka bahagia itu sudah cukup membuat akang bahagia. Akang sudah melaksanakan
tugas sebagai seorang anak, suami dan seorang ayah. Jangan menuntut akang lebih
jauh lagi, akang belum bisa.”
“Maafkan bapa melibatkanmu. Kamu satu-satunya
perempuan yang sedang dekat dengan anak bapa, siapa tahu dia mau
mendengarkanmu, kasihan ibunya sakit gara-gara memikirkan ini.”
Suatu hari di jam makan siang ada
seorang laki-laki paruh baya menemuiku. Meminta bukan sekali dua kali tapi lebih,
mana mungkin aku menolak permohonannya apalagi mendengar sang istri sakit. Sang
keponakannya sedang mengandung benih tanpa tahu siapa lelaki yang bisa diseret
untuk mempertanggungjawabkannya.
Kedekatan kami belum genap satu
tahun dihitung awal bertemu di kedai, perlu proses yang tidak sebentar untuk
bisa merubah pendiriannya ada perdebatan alot di dalamnya.
“Melaksanakan titah orang tua sebagai
tanda bakti Akang untuk mereka. Mereka sudah berkorban untuk Akang, mungkin sekarang
saatnya giliran, Akang, coba lihatlah dari sisi lain.”
“Neng, ingin tahu mengapa akang
menolak usulan mereka semua?”Dia menatapku tajam.
Aku menggeleng.
“Karena, Neng.” Suaranya meninggi.
“Maksudnya?”
“Apa, Neng tidak ada rasa lain sedikitpun
untuk akang?”
Aku tidak langsung menjawab, perlu
tarikan napas yang dalam untuk mengatur degup jantung, memalingkan kepala ke
samping agar rasa ini tak terbaca lewat wajah. “Tidak.” Tegasku.
”Pembohong!” Terdengar derit kursi bergeser
cukup keras, dia pergi dengan membawa amarah, menutup pintu kedai dengan emosi,
hingga orang-orang yang berada di dalam semua berpaling menatap ke arah yang
sama.
Sejak
perdebatan itu lima purnama kami tidak bertemu. Sampai pada musim kemarau
panjang, ketika matahari sedang terik-teriknya, lelaki paruh baya menemuiku lagi
dengan tergopoh, menyerahkan sebuah kartu dan berucap, “terima kasih atas
bantuannya.”
“Sudah
mau magrib. Pulanglah yang di rumah sedang menanti.”
“Kita
pulang bareng!”
“Duluan
saja, masih ingin di sini.”
“Ada
suami sedang menunggu.”
“Dia
sedang lembur hari ini.”
“Baiklah,
jaga diri dengan baik, jangan sampai telat makan!”
Aura
pulang berbanding terbalik ketika datang, seiring punggungnya tak terlihat dari
pandangan, ada yang terhempas dan terasa hampa . Tak ada orang yang sedang
menanti kedatanganku di rumah, dia pergi entah sampai kapan, dan aku seperti
biasa akan memeluk dalam kesunyian.
“Aku dipindahkan ke kantor cabang,
di sana gajinya lebih besar, aku harus pergi, ini bukan untuk keluargaku saja
tapi ini untukmu juga.”
Sudah
dua tahun semenjak dia mengucap kalimat itu, hingga kini tak ada kabar lagi,
begitu pun dengan ibu beserta adik-adiknya, mereka raib bak di telan bumi.
Aku memanggil pelayan, memesan kopi
robusta dengan brown sugar terpisah, selera yang tak kan pernah berubah, dengan
hujan yang masih setia menemani dan secangkir kopi yang menjadi saksi dustaku
selama ini.
Oleh Neng Sri
No comments:
Post a Comment