Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala

Monday 12 July 2021

Dustaku dan Secangkir Kopi


 

cerpen,cerbung,novel,kopi,dusta,cinta,romance

Pernahkah kamu melakukan gerakan karena dorongan hati? Pernahkah meyakini dengan kukuh bahwa ada seseorang bergerak sama denganmu meskipun berada pada ruang yang jauh? Aku dan dia sudah melakukan hal ini selama lima warsa. Setiap tanggal dua puluh satu Mei kami bertemu, sesulit apapun rintangannya kami selalu berhasil membuat dari musykil menjadi nyata. Tak perlu ada kesepakatan tertulis ataupun lisan yang keluar, hati telah ikrar sehingga tubuh bergerak kearah tujuan yang sama. Pada tempat dan waktu yang sama, kami selalu menepatinya.

 

Aku datang ke kedai lebih awal darinya kali ini, mungkinkah dia menyiapkan sesuatu? Ah ... tidak, aku tak mau menduga yang manis-manis, karena pada kenyataannya yang terjadi malah kebalikannya. Dari balik kaca terlihat hujan masih membasahi bumi. Aku tersenyum getir, gerimis, kedai, kopi, sore hari, berkelebatan dalam ingatan, suasana mirip seperti sekarang, layaknya deja vu lima tahun silam.

 

“Aauuww!” pekikku.

 

Ternyata bukan aku saja yang mengucapkan kata tersebut, disebelah kiri ada seorang laki-laki dengan pakaian basah –sama seperti keadaanku- masuk bersamaan, tentu saja pintu ini tidak akan muat dengan badan kami yang berhimpitan, kami sama-sama terjepit di pintu masuk kedai.

 

“Maaf.”

 

Lagi kami mengucapkan kata yang sama secara bersamaan.

 

Aku mundur mempersilakan dia masuk terlebih dahulu, pada saat yang sama dia pun melakukan hal itu, kami saling pandang sampai akhirnya dia mengayunkan tangan kanannya ke depan dengan sopan.

 

“Lady first,” ucapnya dengan tersenyum ramah.

 

Harusnya turun dari angkot hijau ini, aku naik angkot merah satu kali untuk sampai rumah, tapi begitu mataku melihat lurus ke depan ada sebuah kedai, tanpa berpikir panjang aku memutuskan menyebrang lalu masuk untuk berteduh sekaligus menghangatkan badan dengan secangkir kopi panas. Rasanya cukup menghabiskan senja yang basah sambil menikmati minuman favorit.

 

Ternyata suasana di dalam cukup ramai, mungkin orang-orang memiliki tujuan yang sama denganku, aku menoleh ke kiri, dia  menoleh ke kanan, otomatis  kami saling berpandangan, aku tersenyum kikuk berada pada posisi seperti ini.

 

“Kesana, yuk! Ada meja kosong,” ajaknya.

 

Terbersit ragu sesaat tapi akhirnya memutuskan untuk mengikuti langkahnya dari belakang.

 

“Tidak apa-apa kita satu meja?” Tanyaku

 

“Aku yang seharusnya nanya, kamu tidak apa-apa duduk denganku?” Dia balik bertanya.

 

Seorang pelayan menghampiri, memberikan kami selembar kertas.

 

“Robusta.” Pesan kami bersamaan.

 

“Tam--.” Lagi kami berbicara bersamaan tapi dia tidak melanjutkan, membiarkanku berbicara dahulu.

 

“Brwon sugar terpisah,” lanjutku.

 

“Aku lebih manis, pake susu.” Kami saling melempar senyum, lalu menekuri lagi kertas menu yang berada di atas meja.

 

“Pisang panggang,” ucap kami serentak, kami saling tertawa.

 

“Kompakan lagi, dapet piring, nih.” Kelakar sang pelayan.

 

Lalu kami pun tertawa lagi.

 

“Ada lagi?” Tanyanya dengan sikap tangan kiri dilipat diatas meja sedangkan tangan kanan menagkup pipi, sambil memandangku. Aku pun risih dibuatnya.

 

“Cukup.” Jawabku.

 

Dalam waktu singkat kami memiliki pikiran yang sama. Kebetulan? Entahlah. Seperti awal pertemuanku dengannya, apakah kebetulan juga? Tidak, semua sudah di gariskan. Aku menghela nafas pendek, tak patut kiranya menyesali sebuah takdir, bukankah sebuah keputusan sudah diambil.

 

"Hai, sudah lama nunggu, maaf, ya?" sapanya, aku gelagapan tak kusadari kedatangannya atau mungkin terlalu asik pikiranku menjelajah kebelakang. Aku menggeleng sambil memberikan senyuman termanis.

 

"Tidak, masih bisa ditoleransi, kok, telatnya," hiburku.

 

Rambut hitam kriting dikuncir, kemeja biru digulung hingga siku, celana panjang berbahan jeans biru, penampilannya sedikit basah tapi itu tak mengurangi pesonanya. Jika saja status kami berbeda, ingin kutenggelamkan pada dada bidangnya, mendengarkan irama jantungnya, menceritakan keresahan, meluahkan rindu yang menyiksa.

 

"Rambutnya, sengaja dipanjangin?" Tanyaku.

 

"Iya, cari suasana baru.”

 

“Sekarang Mochachino?” Dia melihat kopi dihadapanku.

 

“Iya.”

 

“Seleranya sudah berubah? Kenapa?”

 

“Cari suasana baru.” Jawabku mengcopy ucapannya.

 

“Tapi masih robusta?” Kejarnya.

 

“Tidak, ini arabika.”

 

“Oh,” ucapnya pelan.

 

“Untuk akang, sudah dipesan?"

 

"Belum, takut berubah selera."

 

Dia diam menatapku lekat, "Neng, tahu, selera akang tetap sama sekarang hingga nanti."

 

Aku mengalihkan pandangan, entah ditujukan untuk apa ucapannya tersebut. Jantungku berdegup kencang, ditatap sedemikian rupa tetap membuat wajahku menghangat, ah ... rasa itu ternyata masih bertahta.

 

Lalu kami terdiam cukup lama, hingga pesanan kopinya datang.

 

"Apa kabarmu, Neng?"

 

"Baik, Akang?"

 

"Sama seperti, Neng."

 

"Masih kerja? Suami yang nyuruh, Neng, kerja?"

 

"Tidak."

 

“Mengenai gaji, aku hanya mengambil untuk bensin dan untuk makanku saja selebihnya diserahkan semua untuk ibu beserta adik-adikku, mereka masih tanggung jawabku sepenuhnya. Aku harap kamu mengerti.”

 

Meskipun terkejut dengan keputusannya yang sepihak, aku hanya mengangguk tanda mengerti posisinya sebagai kakak tertua yang memiliki dua adik perempuan yang masih bersekolah dan seorang adik laki-laki yang baru masuk kuliah.

 

“Untuk nafkah aku belum bisa memenuhinya, uang gaji kamu untuk kebutuhanmu sendiri tidak perlu memikirkan kebutuhanku.”

 

Lagi aku hanya bisa mengangguk paham.

 

“Hei!” Dia menjentikan jarinya tepat di depan wajah, menarik pikiranku yang sedang melayang ke awal pernikahan.

 

“Bener, Neng baik-baik saja?” Raut khawatir tergambar jelas.

 

"Baik, tidak perlu cemas seperti itu. Kabar istri dan anak, Akang?"

 

"Yakin ingin tahu kabar mereka?"

 

Mengucapkan kata ‘anak’ ada yang tercubit di dalam dada, untungnya pekerjaanku setiap hari berinteraksi bersama anak-anak, itu sudah cukup mengobati kerinduan akan sosoknya.

 

“Kalau ada waktu kita pergi ke bidan, konsultasi kontrasepsi apa yang cocok denganmu, aku belum siap memilik anak. Bukan tidak mau hanya keadaan tidak memungkinkan.”

 

Satu kejutan lagi di awal pernikahan, ingin membantah tapi akhirnya aku memahami jalan pikirannya.

 

“Untuk itu, maaf aku belum bisa menyentuhmu.”

 

Untuk kesekian kalinya aku mengangguk patuh.

 

"Akang tidak mau menjawab, jika nyatanya melukai. Apa hidup bersamanya, Neng, bahagia?"

 

Bahagiakah aku? Entahlah sejak lima tahun silam arti kata bahagia menjadi sangat rancu buatku.

 

"Tentu saja. Akang?"

 

“Melihat mereka bahagia itu sudah cukup membuat akang bahagia. Akang sudah melaksanakan tugas sebagai seorang anak, suami dan seorang ayah. Jangan menuntut akang lebih jauh lagi, akang belum bisa.”

 

“Maafkan bapa melibatkanmu. Kamu satu-satunya perempuan yang sedang dekat dengan anak bapa, siapa tahu dia mau mendengarkanmu, kasihan ibunya sakit gara-gara memikirkan ini.”

 

Suatu hari di jam makan siang ada seorang laki-laki paruh baya menemuiku. Meminta bukan sekali dua kali tapi lebih, mana mungkin aku menolak permohonannya apalagi mendengar sang istri sakit. Sang keponakannya sedang mengandung benih tanpa tahu siapa lelaki yang bisa diseret untuk mempertanggungjawabkannya.

 

Kedekatan kami belum genap satu tahun dihitung awal bertemu di kedai, perlu proses yang tidak sebentar untuk bisa merubah pendiriannya ada perdebatan alot di dalamnya.

 

“Melaksanakan titah orang tua sebagai tanda bakti Akang untuk mereka. Mereka sudah berkorban untuk Akang, mungkin sekarang saatnya giliran, Akang, coba lihatlah dari sisi lain.”

 

“Neng, ingin tahu mengapa akang menolak usulan mereka semua?”Dia menatapku tajam.

 

Aku menggeleng.

 

“Karena, Neng.” Suaranya meninggi.

 

“Maksudnya?”

 

“Apa, Neng tidak ada rasa lain sedikitpun untuk akang?”

 

Aku tidak langsung menjawab, perlu tarikan napas yang dalam untuk mengatur degup jantung, memalingkan kepala ke samping agar rasa ini tak terbaca lewat wajah. “Tidak.” Tegasku.

 

”Pembohong!” Terdengar derit kursi bergeser cukup keras, dia pergi dengan membawa amarah, menutup pintu kedai dengan emosi, hingga orang-orang yang berada di dalam semua berpaling menatap ke arah yang sama.

 

Sejak perdebatan itu lima purnama kami tidak bertemu. Sampai pada musim kemarau panjang, ketika matahari sedang terik-teriknya, lelaki paruh baya menemuiku lagi dengan tergopoh, menyerahkan sebuah kartu dan berucap, “terima kasih atas bantuannya.”

 

“Sudah mau magrib. Pulanglah yang di rumah sedang menanti.”

 

“Kita pulang bareng!”

 

“Duluan saja, masih ingin di sini.”

 

“Ada suami sedang menunggu.”

 

“Dia sedang lembur hari ini.”

 

“Baiklah, jaga diri dengan baik, jangan sampai telat makan!”

 

Aura pulang berbanding terbalik ketika datang, seiring punggungnya tak terlihat dari pandangan, ada yang terhempas dan terasa hampa . Tak ada orang yang sedang menanti kedatanganku di rumah, dia pergi entah sampai kapan, dan aku seperti biasa akan memeluk dalam kesunyian.

 

“Aku dipindahkan ke kantor cabang, di sana gajinya lebih besar, aku harus pergi, ini bukan untuk keluargaku saja tapi ini untukmu juga.”

 

Sudah dua tahun semenjak dia mengucap kalimat itu, hingga kini tak ada kabar lagi, begitu pun dengan ibu beserta adik-adiknya, mereka raib bak di telan bumi.

 

Aku memanggil pelayan, memesan kopi robusta dengan brown sugar terpisah, selera yang tak kan pernah berubah, dengan hujan yang masih setia menemani dan secangkir kopi yang menjadi saksi dustaku selama ini.



Oleh Neng Sri

No comments:

Post a Comment