Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala

Wednesday 9 December 2020

Literasi# Terjebak Nostalgia

 

literasi,cerpen,novel,cerita


Aku turun dari angkutan umum dengan tergesa. Gawai di tanganku terus berbunyi, aku tak menjawabnya sudah tahu siapa yang mengirim, pasti Ula –teman sebangku dulu-, rese memang dia. Sebenarnya enggan untuk hadir di acara ini, tapi aku tak kuasa memberikan penolakan permintaan sahabatku. Katanya aku harus menyelesaikan yang belum selesai. Apa maksudnya? Aku tak mengerti. Toh aku dulu tidak punya masalah, apanya yang belum selesai.

Aku berdiri sejenak di depan pintu gerbang, menatapnya. Tidak banyak yang berubah hanya cat-nya berganti warna. Sudah tujuh tahun aku telah meninggalkannya, tak terasa tahun cepat berganti, banyak kenangan? tentu saja. Apapun kisahnya, baik ataupun buruk tetap kenangan, ya hanya kenangan cukup dikenang saja.

“Hei … malah bengong di situ, bukannya masuk. Ayo!”

Itu Ula, yang heboh, cerewet dan yang paling menyebalkan kekepoannya yang kadang bikin  aku jengah, tapi anehnya aku betah sampai sekarang sahabatan.

“Udah telat tahu!” sungut Ula sambil menarik tanganku dengan berjalan tergesa.

“Sengaja,” kataku acuh.

Acara diselenggarakan  di aula, aku memilih duduk di  barisan paling belakang, tempat favorifku. Tak menghiraukan rengekan Ula meminta untuk duduk di depan, pada akhirnya dia terpaksa mengalah duduk di sampingku. Meskipun duduk di barisan paling belakang tapi aku masih bisa melihat jelas panggung yang terdekor dengan apik.

Semenjak duduk Ula tak henti menceritakan acara apa saja yang tadi aku lewati, aku tak begitu menyimak. Mataku menelisir setiap sudut aula, tempat yang dulu kami sering gunakan untuk latihan eskul karate. Pikiranku hanyut dalam kenangan akan tempat ini, mengingat itu aku jadi teringat seseorang.

‘Astagfirullah,’ ucapku dalam hati. Aku tak boleh mengingatnya, sekarang keadaan tidak sama lagi.

“Hei, Fatia, baru datang ternyata, kemana aja, gimana kabarnya?” sapa Aira datang bersama khalisa teman sekelas dulu.

“Alhamdulillah baik, Aira, khalisa.”

Beberapa teman satu kelas  terlihat, aku berdiri melangkahkan kaki menyapa mereka, obrolan singkat terjadi lalu kembali duduk di kursi semula.

“Ih, kemana sih orangnya?”

“Siapa, La?”

“Itu orang yang jadi donatur terbesar, katanya mau naik ke panggung. Orangnya sudah di sini juga.”

“Orang siapa sih? Ngomong nggak jelas.”

“Tau akh, nanti kamu tahu sendiri. R a h a s i a.”

Aku lanjutkan obroan dengan Aira dan khalisa, mengabaikan Ula yang sedang merengut sambil mengotak atik gawainya. ‘Fokus banget sama itu benda,’ batinku.

“Ehm … Bismillah. Asalamualaikum teman-teman.” Terdengar suara dari atas panggung.

Ula menyenggol dengan lengan sikunya, membuat aku sedikit kaget. Iya kaget, lebih tepatnya kaget mendengar suara itu lagi, aku tahu betul siapa pemiliknya.

Ula dan aku saling memandang, dia menaik turunkan alisnya,”apa, sih?” tanyaku, lalu mataku beralih melihat orang yang sedang memegang mic di atas anggung. Darahku tiba-tiba berdesir, dia masih sama dengan karismanya, lebih dewasa tentunya.

Suara khas baritonnya mengalun merambat masuk indera pendengaran. Inginku mengalihkan pandangan, tapi gerak tubuh tak sejalan. Aku terpaku melihat dia yang ternyata sedang menatapku. Netra kami bersirobok, mengantarkan kata-kata lewat pandangan, lalu mengalir deras memori telah silam.

‘Cukup!’ kataku dalam benak. Aku berdiri meninggalkan aula. Takut rasa itu masih bersemayam, padahal aku sudah cukup keras menguburnya dalam.

Aku berjalan tergesa, mencari tempat untuk menyendiri, lebih tepatnya menghalau kenangan. Di samping aula ternyata ada kolam, aku duduk di bangku yang tersedia menghadap kolam. Ikan-ikan ini mungkin digunakan untuk pembelajaran para sisiwa. Menatapnya yang berenang membuat hatiku yang bergejeolak sedikit mereda. Tak salah jika ada sebagian orang hobi memelihara ikan di rumah sebagai terapi menenangkan, hal ini pun yang aku rasa.

“Fat, sorry,” kata Ula menyusulku ke kolam.

“It’s oke.”

“Kak Zahran menghubungiku lima bulan yang lalu. Ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.”

“Apa yang harus disampaikan? Kenapa pula harus di acara ini sih, La?”

“Kamu nanti juga tahu sendiri.”

“Selesaikan apa yang selama ini mengganjal di hatimu. Aku tahu itu, kamu hanya pura-pura menganggapnya nggak ada. Aku sahabatmu sejak lama, aku tahu kamu, Fat.”

Ula meninggalkanku sendiri, apa yang diucapkan benar adanya. Aku mengabaikan menganggap itu tidak ada, mencoba melupakaannya padahal selama ini aku memendamnya, kenangan itu tak pernah sirna.  Mungkin ini saatnya.

Kak Zahran … kakak kelas beda satu tingkat, nama yang dulu mengisi hari-hariku di sekolah. Kami mengikuti eskul yang sama yaitu karate. Tak ada kisah cinta sebenarnya, karena sampai dia menjadi alumni pun, tak pernah ada ungkapan darinya. Aku merasa sangat bodoh, mengira segala perhatiannya padaku adalah sebuah pertanda bahwa aku tidak bertepuk sebelah tangan, nyatanya aku yang terlalu besar menaruh harap. Memalukan!

Aku terkejut melihat pantulan bayangan seseorang yang berdiri di sampingku. Aku menoleh, tergagap melihat dia yang memandangku.

“Boleh aku duduk dekat kamu, Fat?”

“Silahkan, Kak!”

“Gimana kabarmu?”

“Alhamdulillah, seperti yang Kakak lihat. Sehat walafiat.”

“Ehm … Fat, kamu pernah nerima surat dari ku?”

“Surat apa?”

“Aku mengirimkan surat untukmu. Satu bulan sebelum lulus, bahkan setelah kuliah pun aku pernah mengirim surat.”

Aku terkejut mendengar kenyataan, bagaimana bisa surat itu tidak pernah sampai ke tanganku. Aku mendengarkannya dengan saksama, menunggu kelanjutannya. Terdengar helaan napasnya pelan, seperti ada sebuah beban yang terpikul di pundaknya.

“Bodohnya aku, surat itu ku titip ke Zahsy.”

Aku terkesiap dengan fakta selanjutnya. Kak Zahsy sepupuku umurnya di atas satu tahun denganku, satu kelas dengan kak Zahran. Walau masih terikat persaudaraan nyatanya kami tidak terlalu dekat.

Kami saling memandang, dapat kulihat sorot matanya sendu. Tidak ada gelagat aneh dari kak Zahsy ketika saat bertemu dalam acara keluarga. Tidak pernah terdengar sekalipun dia menyinggung soal  kak Zahran.  Aku menguar memori, pernah suatu hari kak Zahsy menemuiku di kelas, memberitahukan jika ada seseorang ingin bertemu. Dia menyebutkan waktu dan tempat, namun kenyataannya aku menunggu ditemani Ula selama dua jam orang yang dikatakan kak Zahsy tidak muncul.

 “Apakah, Kakak dulu pernah meminta bertemu denganku, lewat Kak Zahsy?”

 “Iya, tapi kamu tidak datang.”

Pantas saja kami tidak bertemu,  kak Zahsy memberitahukan tempat dan waktu yang berbeda. Aku memalingkan pandangan, menata hati yang tidak karuan. Dia menunduk dalam, dapat kudengar tarikan napasnya, “Tuhan membongkar semua tujuh bulan yang lalu,” lirih suaranya terdengar.

 “Aku menyesal telah menikahinya!”

“Istigfar, Kak!”

“Kenapa, Kakak, tidak mengirimkannya langsung padaku?”

“Karena aku terlalu bodoh, Fat. Terlalu mempercayai apa yang dikatakan Zahsy.”

“Sampai Zahsy mengabarkan bahwa kau telah menikah dengan Eki, saat itu aku berhenti mengharapkanmu.”

Kak Zahsy dan kak Zahran mereka kuliah di tempat yang sama mengambil jurusan yang sama pula. Mereka pasti sering bertemu, tidak heran jika meraka akhirnya menikah. Itu pemikiranku dulu.

“Andaikan saja--.”

“Tidak baik, Kak, berandai-andai.”

“Aku pikir rasaku tidak berbalas.”

“Asal, Kakak, tahu aku pun memiliki rasa yang sama….”

Aku menjeda kalimat.

“… tapi itu dulu.”

“Sekarang?”

“Ada yang lebih berhak atasku.”

Kami terdiam.

“Bagaimana ceritanya jika surat itu sampai padamu, Fat?”

“Maka keadaan tidak pernah berubah.”

“Yakin?”

“Surat itu sampai ke tanganku atau tidak, terbaca olehku atau tidak, tetap aku menikah dengan Kak Eri.”

“Aku pernah mendatangi orang tuamu, mengungkapkan ketertarikannku padamu pada mereka.”

“Dan Kak Eki memintaku pada Sang Pemilik Hati, tentu saja Kakak kalah.”

Aku menoleh kepadanya.

“Aku dan Kak Eri sudah dicatat di lauh mahfudz untuk bersanding. Di tuliskan oleh Sang Kuasa jauh sebelum kami lahir. Sejauh apapun aku dan Kak Eri terpisah tetap kami akan bertemu karana ada benang merah yang disebut takdir.”

“Kak, sebesar apapun usaha kita supaya mendekat tetap akan menjauh. Sekuat apapun usaha kita menolak tetap akan mendekat. Itu yang aku pahami tentang jodoh.”

“Aku tidak bisa menerimanya, Fat.”

“Kak, cobalah untuk melihat dari sisi lain. Kak Zahsy melakukan ini karena dia terlalu mencintai Kakak, walaupun caranya salah. Kakak, sebagai imam tugas Kakak membimbingnya, luruskan yang salah.”

“Diawali dengan cara yang keliru hasilnya tidak akan baik, Fat.”

“Maka pasrahkan semuanya pada Yang di Atas.”

Aku berdiri, sudah cukup rasanya berbicara dengan kak Zahran, hatiku takut goyah, aku tidak mau terjebak.

“Mau kemana, Fat? Aku belum selesai!”

“Aku sudah selesai, Kak!”

“Bagaimana dengan kita, bagaimana dengan ku?”

“Tidak ada lagi kita, Kak!  Kita hanya secuil kenangan dalam hidup. Hanya kenangan tidak perlu untuk diulang!”

Tuhan pasti memiliki alasan mengapa kisahku dengan kak Zahran tidak dibuat lancar seperti jalan tol. Aku pulang tanpa pamitan dengan Ula. Pikiranku tertuju pada lelaki yang sedang menungguku di rumah.


Oleh : Neng Sri

No comments:

Post a Comment