Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala
Showing posts sorted by date for query literasi. Sort by relevance Show all posts
Showing posts sorted by date for query literasi. Sort by relevance Show all posts

Wednesday 23 December 2020

LITERASI# PEREMPUAN YANG MEMBENCI HUJAN

 

literasi, novel,cerita,hujan,wanita,perempuan,artikel

Putri berlari ke kamar, duduk dengan memeluk lutut yang tertekuk di atas ranjang. Sekuat tenaga menutup telinga agar suara itu tidak terdengar. Tubuhnya gemetar, keringat bercucuran, degup jantungnya semakin bertalu berlomba dengan suara guruh dan guntur. Dengan memejamkan mata sambil merapalkan do’a agar suara itu cepat hilang, tapi sepertinya harapannya tidak terkabul, mengingat bulan ini musim penghujan datang. Mulutnya tak berhenti mengucap, “Ya Allah cepat pergi, berhenti, berhenti.”


Suara tetesan air yang jatuh ke bumi bagi Putri bagaikan ribuan jarum yang menusuk jantung, mengoyak tubuh yang lemah, membuat sayatannya semakin dalam. Suara guntur disertai petir seperti hantaman godam yang menimpa tubuh. Dulu Putri paling suka menghirup aroma tanah kering yang terguyur hujan -aroma petrikor-, tetapi sekarang aroma ini memuakkan indera penciumannya.


Lama menunggu berhentinya hujan, Putri mulai menangis, terisak perih mengingat peristiwa yang telah membuatnya terluka. Sebuah luka yang tak akan pernah sembuh. Putri mengeleng-gelengkan kepala, berharap ingatan itu sirna, tapi semakin Putri berusaha untuk menghapusnya kenangan itu malah semakin terlihat jelas. Bajunya basah dengan peluh yang tercipta, tanpa tersadar badannya ikut bergoyang tak tentu arah, Putri menjerit memukul-mukul kepalanya, “enyahlah dari kepalaku!” racaunya.


Setiap musim penghujan datang seperti memasuki lorong sempit yang gelap dan sunyi, saat itulah penderitaanya datang. Tak ada yang tahu apa yang telah dialaminya, Putri lebih memilih mengunci rapat meskipun itu  hanya akan membuatnya menderita sepanjang hidup, baginya itu adalah aib, tak ingin orang-orang memandang iba.


Tangisan dan jeritan Putri semakin melambat seiring guyuran air dari langit mereda, saat itulah penderitaannya berhenti sejenak. Lelehan air mata membuat nestapa jelas terlihat dalam bingkai wajah meredupkan sinar kecantikannya, dengan tubuh basah bermandikan keringat … lelah, itulah yang Putri rasakan.

 

-----

 

Seorang gadis kecil bersembunyi dibalik lemari baju, terduduk lemas, gemetar seluruh badan, napasnya tak beratur, tangan kanan memengang dada sebelah kiri, degupnya semakin kencang, tangan kiri membekap mulut sambil menggigit bibir bawah. Bola matanya melebar mengintip adegan demi adegan pada celah pintu lemari disertai lelehan air yang keluar membasahi pipi gembilnya, sesekali dia menutup mata tak kuasa melihat, ini terlalu menyakitkan baginya. Suara teriakan beradu kencang dengan hujan deras disertai gelegar petir membuat gendang telinganya sakit.


Ingin dia menjerit tapi teringat pesan sang bunda untuk diam jangan bersuara. Setelah sekian jam mendekam dalam ruang sempit persembunyian, lalu menjadi hening seketika. Tak terdengar lagi suara teriakan demi teriakan yang mengeluarkan cacian dan umpatan, tak ada lagi suara barang yang terlempar, tak ada lagi benda yang jatuh.


Butuh waktu bagi gadis sekecil dia untuk memutuskan keluar dari persembunyiannya, dengan tangan kecil gemetar pelan-pelan dia membuka pintu lemari. Dia tetap diam tak beranjak dari tempatnya duduk, meskipun pintu lemari sudah terbuka lebar, tertegun melihat pemandangan yang ada di depan mata.


Dengan merangkak gadis kecil memberanikan diri keluar, lalu perlahan menegakkan badannya, matanya terbelalak melihat sekeliling ruangan yang porak-poranda. Dengan kaki gemetar dia berjalan tertatih-tatih menghampiri wanita yang tergeletak di atas ranjang. Terisak pelan menggoyang-goyangkan tubuh wanita tersebut.


“Bunda bangun. Bunda bangun, Bunda!”


Ternyata wanita itu adalah ibunya, gadis kecil terus menerus membangunkan, tapi sang bunda tak juga membuka mata. Isakan pelan berganti dengan tangisan setelah menelusur seluruh tubuh sang bunda ternyata ada darah yang membasahi keningnya. Ketakutan mendera, gadis kecil menempelkan telinga ke dada sebelah kiri sang bunda, menirukan adegan yang pernah dia lihat. Dengan tersedu-sedu memastikan pendengarannya, lama … sampai akhirnya tangisnya pecah, meraung-raung memanggil sang bunda, menggoyang-goyangkan badan berharap goncangan di tubuh sang bunda  dapat membangunkan.


“Bunda bangun, Bunda. Putri takut. Bunda … Bunda bangun!”


Ditemani hujan deras, suara guntur dan petir saling bersahutan, Putri kecil terus meraung dan tak berhenti mengucap, “Bunda bangun. Putri takut.” tapi sayang sang bunda tak juga  bangun. Waktu terus merangkak, langit semakin pekat, jarum jam menunjukan ke angka 12, hujan pun belum berhenti. Putri kecil kelelahan setelah sekian lama menangis pilu sampai akhirnya tertidur sambil memeluk tubuh sang bunda.


oleh : Neng Sri

Wednesday 9 December 2020

Literasi# Terjebak Nostalgia

 

literasi,cerpen,novel,cerita


Aku turun dari angkutan umum dengan tergesa. Gawai di tanganku terus berbunyi, aku tak menjawabnya sudah tahu siapa yang mengirim, pasti Ula –teman sebangku dulu-, rese memang dia. Sebenarnya enggan untuk hadir di acara ini, tapi aku tak kuasa memberikan penolakan permintaan sahabatku. Katanya aku harus menyelesaikan yang belum selesai. Apa maksudnya? Aku tak mengerti. Toh aku dulu tidak punya masalah, apanya yang belum selesai.

Aku berdiri sejenak di depan pintu gerbang, menatapnya. Tidak banyak yang berubah hanya cat-nya berganti warna. Sudah tujuh tahun aku telah meninggalkannya, tak terasa tahun cepat berganti, banyak kenangan? tentu saja. Apapun kisahnya, baik ataupun buruk tetap kenangan, ya hanya kenangan cukup dikenang saja.

“Hei … malah bengong di situ, bukannya masuk. Ayo!”

Itu Ula, yang heboh, cerewet dan yang paling menyebalkan kekepoannya yang kadang bikin  aku jengah, tapi anehnya aku betah sampai sekarang sahabatan.

“Udah telat tahu!” sungut Ula sambil menarik tanganku dengan berjalan tergesa.

“Sengaja,” kataku acuh.

Acara diselenggarakan  di aula, aku memilih duduk di  barisan paling belakang, tempat favorifku. Tak menghiraukan rengekan Ula meminta untuk duduk di depan, pada akhirnya dia terpaksa mengalah duduk di sampingku. Meskipun duduk di barisan paling belakang tapi aku masih bisa melihat jelas panggung yang terdekor dengan apik.

Semenjak duduk Ula tak henti menceritakan acara apa saja yang tadi aku lewati, aku tak begitu menyimak. Mataku menelisir setiap sudut aula, tempat yang dulu kami sering gunakan untuk latihan eskul karate. Pikiranku hanyut dalam kenangan akan tempat ini, mengingat itu aku jadi teringat seseorang.

‘Astagfirullah,’ ucapku dalam hati. Aku tak boleh mengingatnya, sekarang keadaan tidak sama lagi.

“Hei, Fatia, baru datang ternyata, kemana aja, gimana kabarnya?” sapa Aira datang bersama khalisa teman sekelas dulu.

“Alhamdulillah baik, Aira, khalisa.”

Beberapa teman satu kelas  terlihat, aku berdiri melangkahkan kaki menyapa mereka, obrolan singkat terjadi lalu kembali duduk di kursi semula.

“Ih, kemana sih orangnya?”

“Siapa, La?”

“Itu orang yang jadi donatur terbesar, katanya mau naik ke panggung. Orangnya sudah di sini juga.”

“Orang siapa sih? Ngomong nggak jelas.”

“Tau akh, nanti kamu tahu sendiri. R a h a s i a.”

Aku lanjutkan obroan dengan Aira dan khalisa, mengabaikan Ula yang sedang merengut sambil mengotak atik gawainya. ‘Fokus banget sama itu benda,’ batinku.

“Ehm … Bismillah. Asalamualaikum teman-teman.” Terdengar suara dari atas panggung.

Ula menyenggol dengan lengan sikunya, membuat aku sedikit kaget. Iya kaget, lebih tepatnya kaget mendengar suara itu lagi, aku tahu betul siapa pemiliknya.

Ula dan aku saling memandang, dia menaik turunkan alisnya,”apa, sih?” tanyaku, lalu mataku beralih melihat orang yang sedang memegang mic di atas anggung. Darahku tiba-tiba berdesir, dia masih sama dengan karismanya, lebih dewasa tentunya.

Suara khas baritonnya mengalun merambat masuk indera pendengaran. Inginku mengalihkan pandangan, tapi gerak tubuh tak sejalan. Aku terpaku melihat dia yang ternyata sedang menatapku. Netra kami bersirobok, mengantarkan kata-kata lewat pandangan, lalu mengalir deras memori telah silam.

‘Cukup!’ kataku dalam benak. Aku berdiri meninggalkan aula. Takut rasa itu masih bersemayam, padahal aku sudah cukup keras menguburnya dalam.

Aku berjalan tergesa, mencari tempat untuk menyendiri, lebih tepatnya menghalau kenangan. Di samping aula ternyata ada kolam, aku duduk di bangku yang tersedia menghadap kolam. Ikan-ikan ini mungkin digunakan untuk pembelajaran para sisiwa. Menatapnya yang berenang membuat hatiku yang bergejeolak sedikit mereda. Tak salah jika ada sebagian orang hobi memelihara ikan di rumah sebagai terapi menenangkan, hal ini pun yang aku rasa.

“Fat, sorry,” kata Ula menyusulku ke kolam.

“It’s oke.”

“Kak Zahran menghubungiku lima bulan yang lalu. Ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.”

“Apa yang harus disampaikan? Kenapa pula harus di acara ini sih, La?”

“Kamu nanti juga tahu sendiri.”

“Selesaikan apa yang selama ini mengganjal di hatimu. Aku tahu itu, kamu hanya pura-pura menganggapnya nggak ada. Aku sahabatmu sejak lama, aku tahu kamu, Fat.”

Ula meninggalkanku sendiri, apa yang diucapkan benar adanya. Aku mengabaikan menganggap itu tidak ada, mencoba melupakaannya padahal selama ini aku memendamnya, kenangan itu tak pernah sirna.  Mungkin ini saatnya.

Kak Zahran … kakak kelas beda satu tingkat, nama yang dulu mengisi hari-hariku di sekolah. Kami mengikuti eskul yang sama yaitu karate. Tak ada kisah cinta sebenarnya, karena sampai dia menjadi alumni pun, tak pernah ada ungkapan darinya. Aku merasa sangat bodoh, mengira segala perhatiannya padaku adalah sebuah pertanda bahwa aku tidak bertepuk sebelah tangan, nyatanya aku yang terlalu besar menaruh harap. Memalukan!

Aku terkejut melihat pantulan bayangan seseorang yang berdiri di sampingku. Aku menoleh, tergagap melihat dia yang memandangku.

“Boleh aku duduk dekat kamu, Fat?”

“Silahkan, Kak!”

“Gimana kabarmu?”

“Alhamdulillah, seperti yang Kakak lihat. Sehat walafiat.”

“Ehm … Fat, kamu pernah nerima surat dari ku?”

“Surat apa?”

“Aku mengirimkan surat untukmu. Satu bulan sebelum lulus, bahkan setelah kuliah pun aku pernah mengirim surat.”

Aku terkejut mendengar kenyataan, bagaimana bisa surat itu tidak pernah sampai ke tanganku. Aku mendengarkannya dengan saksama, menunggu kelanjutannya. Terdengar helaan napasnya pelan, seperti ada sebuah beban yang terpikul di pundaknya.

“Bodohnya aku, surat itu ku titip ke Zahsy.”

Aku terkesiap dengan fakta selanjutnya. Kak Zahsy sepupuku umurnya di atas satu tahun denganku, satu kelas dengan kak Zahran. Walau masih terikat persaudaraan nyatanya kami tidak terlalu dekat.

Kami saling memandang, dapat kulihat sorot matanya sendu. Tidak ada gelagat aneh dari kak Zahsy ketika saat bertemu dalam acara keluarga. Tidak pernah terdengar sekalipun dia menyinggung soal  kak Zahran.  Aku menguar memori, pernah suatu hari kak Zahsy menemuiku di kelas, memberitahukan jika ada seseorang ingin bertemu. Dia menyebutkan waktu dan tempat, namun kenyataannya aku menunggu ditemani Ula selama dua jam orang yang dikatakan kak Zahsy tidak muncul.

 “Apakah, Kakak dulu pernah meminta bertemu denganku, lewat Kak Zahsy?”

 “Iya, tapi kamu tidak datang.”

Pantas saja kami tidak bertemu,  kak Zahsy memberitahukan tempat dan waktu yang berbeda. Aku memalingkan pandangan, menata hati yang tidak karuan. Dia menunduk dalam, dapat kudengar tarikan napasnya, “Tuhan membongkar semua tujuh bulan yang lalu,” lirih suaranya terdengar.

 “Aku menyesal telah menikahinya!”

“Istigfar, Kak!”

“Kenapa, Kakak, tidak mengirimkannya langsung padaku?”

“Karena aku terlalu bodoh, Fat. Terlalu mempercayai apa yang dikatakan Zahsy.”

“Sampai Zahsy mengabarkan bahwa kau telah menikah dengan Eki, saat itu aku berhenti mengharapkanmu.”

Kak Zahsy dan kak Zahran mereka kuliah di tempat yang sama mengambil jurusan yang sama pula. Mereka pasti sering bertemu, tidak heran jika meraka akhirnya menikah. Itu pemikiranku dulu.

“Andaikan saja--.”

“Tidak baik, Kak, berandai-andai.”

“Aku pikir rasaku tidak berbalas.”

“Asal, Kakak, tahu aku pun memiliki rasa yang sama….”

Aku menjeda kalimat.

“… tapi itu dulu.”

“Sekarang?”

“Ada yang lebih berhak atasku.”

Kami terdiam.

“Bagaimana ceritanya jika surat itu sampai padamu, Fat?”

“Maka keadaan tidak pernah berubah.”

“Yakin?”

“Surat itu sampai ke tanganku atau tidak, terbaca olehku atau tidak, tetap aku menikah dengan Kak Eri.”

“Aku pernah mendatangi orang tuamu, mengungkapkan ketertarikannku padamu pada mereka.”

“Dan Kak Eki memintaku pada Sang Pemilik Hati, tentu saja Kakak kalah.”

Aku menoleh kepadanya.

“Aku dan Kak Eri sudah dicatat di lauh mahfudz untuk bersanding. Di tuliskan oleh Sang Kuasa jauh sebelum kami lahir. Sejauh apapun aku dan Kak Eri terpisah tetap kami akan bertemu karana ada benang merah yang disebut takdir.”

“Kak, sebesar apapun usaha kita supaya mendekat tetap akan menjauh. Sekuat apapun usaha kita menolak tetap akan mendekat. Itu yang aku pahami tentang jodoh.”

“Aku tidak bisa menerimanya, Fat.”

“Kak, cobalah untuk melihat dari sisi lain. Kak Zahsy melakukan ini karena dia terlalu mencintai Kakak, walaupun caranya salah. Kakak, sebagai imam tugas Kakak membimbingnya, luruskan yang salah.”

“Diawali dengan cara yang keliru hasilnya tidak akan baik, Fat.”

“Maka pasrahkan semuanya pada Yang di Atas.”

Aku berdiri, sudah cukup rasanya berbicara dengan kak Zahran, hatiku takut goyah, aku tidak mau terjebak.

“Mau kemana, Fat? Aku belum selesai!”

“Aku sudah selesai, Kak!”

“Bagaimana dengan kita, bagaimana dengan ku?”

“Tidak ada lagi kita, Kak!  Kita hanya secuil kenangan dalam hidup. Hanya kenangan tidak perlu untuk diulang!”

Tuhan pasti memiliki alasan mengapa kisahku dengan kak Zahran tidak dibuat lancar seperti jalan tol. Aku pulang tanpa pamitan dengan Ula. Pikiranku tertuju pada lelaki yang sedang menungguku di rumah.


Oleh : Neng Sri

Thursday 3 December 2020

Literasi# Histerektomi - Part 3


histerektomi,rahim,kandungan,hamil,cerbung,cerpen,novel,true story






Sayup-sayup terdengar orang sedang berbincang, aku melihat sekeliling … sepi, lalu tak terdengar suara lagi.

 

Aku terbangun kembali mendengar suara orang-orang yang semakin ramai, berbicara tentang makanan, minuman. Lalu salah satu perawat menghampiri, “Teteh sudah bangun?”

 

“Mana suami saya, Teh?” Perkataan itu yang pertama kali terlontar.

 

“Suami Teteh lagi keluar mungkin lagi cari makanan buat buka.” Aku ingat sekarang adalah bulan Ramadhan.

 

“Teteh pingsan sudah tiga jam, dari jam tiga.” Aku masih belum mencerna keadaan terlalu lemah akhirnya tertidur lagi.

 

Terbangun lagi karena mendengar suara adzan. “Suami saya mana?” Lagi aku menanyakan keberadaan suami.

 

“Mungkin lagi sholat magrib dulu.”

 

“Teteh pake baju dulu, ya!”

 

“Sini saya bantu, geulis,”  ucap perawat ramah. Aku melihat ke bawah ada selimut dari rumah, di atas badan entah ada benda apa warnanya mengkilap.

 

“Ayo sayang angkat badannya sedikit, yap pinter.”

 

Selesai memakai baju aku bertanya, “Teh perut saya kenapa sakit?”

 

“Ya ‘kan habis dioperasi pasti sakit,” ketus perawat laki-laki, entah kapan datangnya.

 

“Operasi?” tanyaku dalam benak, aku belum bisa berpikir dengan jernih badanku masih terlalu lemas. Tertidur lagi.

 

“Gimana kalau saya, golongan darahnya sama.”

 

“Nggak bisa, Bapak ‘kan saum.”

 

Terbangun mendengar suara suami, tapi mataku belum bisa melihat dengan jelas, samar.

 

“Ayah …,” lirih aku memanggil. Mungkin karena terlalu pelan jadi tidak terdengar. Mataku terpejam lagi.

 

Sayup-sayup terdengar lagi orang-orang berbincang, aku buka mata, samar terlihat adik sepupu memabawa tas, tidak tahu tas apa. Terpejam lagi.

 

Entah jam berapa aku terbangun kembali, sunyi … hanya suara tut, tut, tut yang terdengar jelas. Kurasakan tangan kanan dan kiriku terpasang alat, di depan tempat aku berbaring ada meja perawat di belakangnya ada lemari kaca. Aku bisa melihat melalui pantulan kaca, ada monitor  di atas kepala sebelah kanan, tangan terpasang sebuah alat, entah apa yang pasti alat itu akan mengembung berapa menit sekali. Lalu aku melirik ke sebelah kiri, ah … ternyata aku sedang ditranfusi, dan ada suami tak jauh berdiri dekat aku terbaring.

 

“Yah ….”  Suami mendekat.

 

“Perut sakit,” rintihku.

 

“Sabar, ya.” Sambil mengelus kakiku.

 

“Pengen minum,” rengekku.

 

“Nanti. Tunggu, sabar, ya.”

 

Tak berlangsung lama datang perawat yang lain, sepertinya ganti shift, berjalan menuju meja dan berbincang. Setelah selesai berbincang dengan teman sejawatnya lalu berjalan mendekat ke arahku, suami mundur untuk memberikan keleluasaan padanya. Setelah selesai memeriksa kondisi, perawat tersebut mengampiri suami.

 

“Betul, Pak, ini tuh?” tanyanya.

 

“Iya, betul, diangkat,” jawab suami.

 

Aku bingung segaligus kaget.

 

“Diangkat apa, Yah? Rahim? Kata dokter disteril?”

 

Langsung hening.

 

Beberapa saat tidak ada yang berani berbicara, sampai akhirnya perawat yang satu berkata.

 

“Iya, histerektomi.” Dengan suara pelan. Aku menolehnya, istilah itu aku belum pernah mendengar.

 

Perawat yang berganti shift bicara, “Ibu lebih jelasnya besok tanyain ke dokter, ya. Ibu sabar, tunggu besok penjelasan dokter.”

 

Suami mendekatiku, duduk di samping sebelah kiri, sambil mengelus-elus kaki, aku penasaran bertanya sekali lagi, “bener, Yah rahim diangkat?”

 

Suami menghela napas panjang lalu berkata, “iya.” Singkat tapi membuat sekujur tubuh semakin lemas.

 

“Yang penting sekarang, Ibu sehat dulu,” kata suami menenangkan, tapi tidak cukup membuat tenang, tidak … aku hancur.

 

Aku memiringkan badan ke kiri, meraba sesuatu yang bisa dipegang, bertanya dalam hati, benarkah ini nyata, ini mimpi kan? Aku masih berusia 38 tahun, masih relatif muda tapi mengapa? Mengapa harus aku? Dari sekian juta perempuan yang melahirkan di usia tiga puluhan bahkan empat puluhan di dunia kenapa harus aku yang mengalami ini. Aku terus bertanya pada diri sendiri, mengapa harus aku? 

 

Apa bedanya aku dengan transgender, mereka pun tak punya rahim bahkan mereka lebih cantik, aku tak lebih sama dengan mereka. Lalu aku merasa iri melihat nenek-nenek, berkulit keriput, berjalan bongkok, tapi masih memiliki rahim, mereka masih sempurna.

 

Bagaimana dengan masa depanku, masa depan rumah tanggaku. Berkelebat omongan orang-orang tentang wanita yang tak memiliki rahim, sungguh membuat kepercayaan diri pun sirna.

 

Cukup lama ruangan hening, hanya suara tut tut tut yang terdengar nyaring, aku dengan dengan ketakutanku, suami yang terus mengusap dengan menatapku sendu. Terlontar kata-kata yang begitu saja terlintas dalam pikiran, dengan suara bergetar menahan tangis, “Ayah … ayah masih muda, masih 39 tahun, Ayah cari istri yang lain, Ibu ….” Aku menjeda kalimat, “sudah nggak sama lagi.” Kalimat terakhir semakin pelan.

 

“Nggak ada kepikiran ke sana,” ucap suami.

 

Tak ada suara  tangisan yang tersedu-sedan hanya pipi yang semakin basah, aku menangis dalam diam.

 

Tengah malam, akhirnya aku dipindahkan dari ruang Pacu ke ruang rawat inap, Mawar Putih. Setelah sebelumnya perawat melaporkan kondisiku kepada dokter melalui via telepon. Aku menempati ruangan kelas dua, dengan tiga tempat tidur, tempatku berada di tengah-tengah.

 

Tak sabar rasanya menanti berganti hari, menanyakan perihal ini pada dokter.

 

-----

 

Pagi menjelang, waktu visit dokter pun tiba. Doker Arif selalu lebih pagi datang dibandingkan dengan dokter lain. Sebelum Dokter Arif menanyakan kondisiku, aku mendahului beliau bertanya.

 

“Dok, mengapa rahim saya diangkat?”

 

“Harus diangkat, Bu. Kalau tidak diangkat membahayakan Ibu. Ibu mengalami pendarahan banyak sekali, habis dua lho perlaknya. Takutnya yang tersisa berubah jadi tumor, kan lebih bahaya lagi. Misal suatu saat nanti ibu kebablasan hamil lagi, itu akan sangat beresiko terhadap nyawa Ibu sendiri. Kalau tidak diangkat Ibu akan kehilangan darah terus, darah Ibu habis gimana?”

 

“Sekarang tenangkan pikiran, yang penting Ibu pulih dulu, ya.”

 

“Masih lemes?”

 

“Iya, Dok.”

 

“Makan yang banyak, ya, jangan banyak pikiran.”

 

---

 

Identitas kebanggaan sebagai wanita yang melekat sekarang sudah hilang, mahkotaku lenyap dalam sekejap.

 

Entah berapa banyak lembar tisu yang terpakai, namun air mata ini enggan untuk berhenti. Berkali-kali mencoba memahami penjelasan dokter, tapi tak juga dapat kuterima. Pikiranku menerawang, mengingat-ingat, mengulang kejadian dari pertama kali datang ke klinik sampai hari operasi, diulang lagi lebih mundur, dari melahirkan sampai operasi, diulang lebih mundur lagi, dari semenjak hamil sampai operasi, diulang lagi, ulang lagi, terus begitu, berharap menemukan di mana letak kesalahan, kekeliruan, hingga aku bisa memaklumi keadaan dan dapat menerima penjelasan dokter. Tapi aku belum bisa meneriama dan terus bertanya,  why me? … why me?

 

Dalam satu  ruangan, kanan kiri sudah empat kali ganti pasien, semuanya kuret dengan kasus yang berbeda-beda. Setiap mereka bertanya, aku jawab, “diangkat rahim.” Semua memberikan reaksi yang sama, kaget dan sama- sama mengucapkan, ‘innalillahi’, ‘nauzubilah mindzalik’ atau ‘amit-amit jabang bayi’.  Ada yang mengucapkan dengan pelan ada juga yang berucap kencang. Ada yang langsung meraba perutnya sendiri, ada yang suaminya langsung mengelus perut istrinya, sambil berkata, “amit-amit ya, Neng. Neng jangan sampai kitu.”

 

Sakit?

 

Pasti.

 

Sedih?

 

Sangat.

 

Aku memilih duduk di bangku dekat taman, daripada berada di dalam berbaring di atas tempat tidur. Hembusan angin lembut menerpa wajah, berharap air mataku pun ikut terbang bersamanya. Desau angin seperti suara kidung lara di telingaku. Mentari yang senantiasa membuat bumi terang benderang, baru kali ini aku tak merasakan sinarnya. Hamparan taman yang luas tak bisa membuat sesak di dada berkurang. Rumput hijau bunga yang beraneka warna tak bisa membuat mataku ikut berbinar.

 

Duniaku seakaan sunyi.



Oleh : Neng Sri

Literasi# Histerektomi - Part 4

 






 

“Jangan banyak pikiran!” perintah Dokter Arif pada visit terakhir.

 

“Gimana nggak banyak pikiran, Dok. Rahimnya sudah nggak ada.”

 

“Pilih mana, rahimnya yang nggak ada atau orangnya yang nggak ada?”

 

Pertanyaan yang menohok, aku diam tak menjawab menyadari sesuatu.

 

“Jangan kerja yang berat-berat dulu, kerja yang ringan-ringan saja dulu. Masak yang gampang  boleh, cuci baju banyak jangan, olah raga yang berat jangan, jalan-jalan kecil dululah.” Nasehat beliau.

 

“Sudah ya, cepet sehat, jangan lupa minggu depan kontrol, pokoknya jangan banyak pikiran.” Tegas beliau mengingatkan kembali.

 

Suami bolak balik mengurus administrasi kepulangan, sebelumnya diberitahu oleh Bidan Yayah -kepala ruangan- mengenai selisih pembayaran BPJS yang harus diselesaikan.

 

“Ibu Bapak, biaya perawatan Ibu seluruhnya dua puluh juta enam ratus lima puluh ribu, ada selisih yang harus dibayar empat juta enam ratus lima puluh ribu.”

 

“Ibu jangan pikirkan selisih yang harus dibayar kenapa besar, jangan pikirkan uangnya. Ibu harus bersyukur, masih bisa ketemu keluarga, masih bisa mengurus anak-anak, mengurus suami, soalnya jarang-jarang yang seperti Ibu bisa selamat, kebanyakan lewat.”

 

“Kasus Ibu termasuk Cito yaitu pasien yang harus segera ditangani saat itu juga, kalau tidak diambil tindakan segera bisa mengancam keselamatan Ibu, termasuk operasi besar. Makanya Ibu harus banyak-banyak bersyukur sama Allah masih diberi kesempatan.”

 

Perkataan Dokter Arif dan Bidan Yayah seperti sebuah energi baru, layaknya sebuah ponsel yang habis baterai, pelan-pelan mulai terisi.

 

Sebelum meninggalkan ruangan, kami berpamitan menyalami satu-satu perawat serta bidan. Banyak do’a yang terucap dari mereka, banyak nasehat yang diberikan. Sekarang aku merasakan sebagai pasien, selain obat-obatan yang diperlukan, juga yang lebih dibutuhkan adalah sebuah dukungan, penyemangat, bukan tatapan iba mengasihani yang akan membuat pasien merasa manusia yang paling menyedihkan … percayalah pasien yang sedang terpuruk hanya butuh pelukan dan support. Kami meninggalkan RS dengan senyuman.

 

Pulang ke rumah disambut isak tangis mamah, aku berusaha nampak tegar, tidak ikut terpancing menangis. Langsung menuju kamar, rindu bayi yang sudah tiga hari tidak bertemu. Aku menatapnya dengan mata berbinar dan hati  membuncah, usianya memasuki bulan ketiga, sedang aktif-aktifnya belajar menggerak-gerakan kaki dan tangan dengan lincah, yang paling menggemaskan celotehannya yang tak jelas menjadi obat pelipur lara.

 

“Ibu beruntung anak sudah tiga, kakakku baru punya anak satu rahimnya harus diangkat karena tumor.”

 

“Karyawanku baru nikah setahun belum punya anak, istrinya sudah diangkat rahim.”

 

Banyak kata-kata penghiburan dari tetangga, itu cukup membuatku menyadari bahwa aku sangat beruntung dibandingkan cerita mereka.

 

“Bibiku juga sudah diangkat rahimnya, anaknya satu sudah besar, mereka rukun sampai sekarang malah kelihatnnya semakin sayang paman ke bibi.”

 

Thank you so much neighbors, your support means a lot.

 

-----

 

“Waktu Ibu sedang dioperasi, ada telepon dari Rani. Kata Dokter Taufik, sepertinya Ibu harus diangkat rahim.” Suamiku mulai bercerita.

 

“Terus Ayah jawab ‘telat ngasih tahunya, ini lagi dioperasi’,” lanjutnya.

 

“Pantesan Doktek Taufik waktu terakhir kontrol terlihat berbeda, kaya mau bilang sesuatu, tapi ditahan,” kataku.

 

“Sudah jalan-Nya harus di Sukabumi. Di mana pun yang penting sekarang Ibu sehat,” ucap suami.

 

“Ayah juga dikasih lihat rahim Ibu sama Dokter Arif, sebesar kepalan tangan, ada lubang kecil di tengah-tengah. Kaya kita habis gigit roti di bagian tengah, nah bekas gigitannya membekas, rahim Ibu keadaannya gitu.”

 

“Perasaan, Ayah gimana waktu itu?” tanyaku.

 

“Jangan ditanya, nggak karuan rasanya. Sebenarnya kuretnya tidak jadi, kata dokter baru pengukuran kedalaman, tiba-tiba darah langsung muncrat. Lihat Dokter Arif sampai keringetan lari-lari, semua panik, rencana mau kuret malah jadi operasi,” jawab suami.

 

-----

 

Satu minggu pasca operasi waktunya kontrol, Dokter Arif menjawab ketakutan yang selama ini menganggu pikiran.

 

“Ibu yang diangkat rahim Ibu yang ini (dengan menunjukan gambar peraga yang berada di samping mejanya), sel telur Ibu kanan dan kiri masih utuh, tidak diangkat.”

 

“Kegiatan hubungan intim Ibu dengan Bapak tidak akan terganggu, karena beda organ dan beda fungsinya. Rahim tempat janin tumbuh, sedangkan aktivitas intim suami istri berlangsung di dalam v-----.”

 

“Operasi pengangkatan rahim tidak mempengaruhi sensasi di v----- atau kemampuan untuk mencapai kepuasan. Ada beberapa istri bahkan dapat menikmati aktivitas intim suami istri yang lebih baik setelah operasi.”

 

“Ibu tidak perlu khawatir dengan penyakit kanker rahim, Ibu terhindar dari itu, ibadah Ibu tidak akan terganggu dengan siklus datang bulan karena Ibu tidak akan mengalaminya lagi.”

 

-----

 

Akan merasa kehilangan jika sudah pergi, kalimat itu pasti sering terdengar, dan aku pernah mengalami prosesnya. Ikhlas … satu-satu jalan untuk berdamai dengan keadaan, membuat hati lapang, tapi buatku itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, aku tidak memiliki kesabaran yang tinggi, sungguh imanku sangat tipis.

 

“Sini adeknya aku gendong, kebetulan lagi dapet.” Kalimat yang sangat biasa, tapi membuat langkahku melambat dan termenung lama ketika mengambil air wudhu. Pernah menangis gara-gara melihat pembalut di lemari, terdengar konyol mungkin tapi pembalut bagiku mempunyai arti yang dalam, sebuah perpisahan, karena dia pernah menemaniku kurang lebih tiga bulan tanpa jeda.

 

Dulu aku sering mengeluh ketika datang bulan datang, rasa sakit melilit di perut yang tak tertahankan. Buat para perempuan yang sampai sekarang masih mengalami siklus datang bulan, jika rasa itu datang, pejamkan mata, resapi setiap sakitnya nikmati keadaannya, jangan mengeluh apalagi marah sampai menghujat, karena itu adalah suatu keajaiban sebuah anugerah yang tak terhingga karena di belahan bumi lain ada seorang perempuan  yang tidak bisa lagi menikmati anugerah-Nya dan dia merindukan kehadirannya.

 

Dalam proses pencarian menuju ikhlas, qadarullah seseorang mengirim sebuah video tausiah seorang ustdaz, Oemar Mita dengan judul Hakikat Sabar.

 

Orang-orang ahlul musibah (orang-orang yang hidupnya diuji terus) dihisab terlebih dahulu, dan Allah akan ganti dengan tiga hal yaitu surga, kekuatan dan tempat yang tinggi di surga. Tempat itu tidak bisa diraih dengan sholat, tidak bisa diraih dengan sadaqah tapi hanya bisa diraih oleh orang yang sabar ketika mendapati ujian.

 

Ahlul ‘afiah (orang-orang yang hidupnya jarang diuji) sampai mendongkak ke atas saking tingginya kedudukan ahlul musibah di surga. Dan ahlul ‘afiah berkata, “Ya Allah jika setiap dibalik ujian akan mendapatkan kedudukan tinggi di surga dan betapa mudahnya mereka (ahlul musibah) dihisab karena sudah berkurang dosa-dosanya, tolong ya Allah hidupkan kami (ahlul ‘afiah) sekali lagi, beri kami ujian.”

 

Dan sayangnya orang yang sudah meninggal tidak dapat hidup kembali lagi ke bumi.

 

Isi sebagian dari tausiah.

 

Aku dengarkan berulang kali video tersebut, diulang lagi dan lagi sampai memahami betul maknanya.

 

Aku bukanlah orang yang berlimpah materi, apalagi crazy rich people, ilmu agamaku minim, aku bukan seorang cendekiawan yang berilmu tinggi. Shadaqahku bisa dihitung dengan jari, dalam salatku terkadang ragu hitungan rakaat, banyak amalan sunah yang terabaikan, tadarus Quranku sering terlewatkan. Lantas amalan apa yang bisa aku bawa nanti ke hadapan Sang Pencipta? Sedangkan aku sering meminta untuk menjadi salah satu penghuni surga.

 

Anakku sering menggambar kami sekeluarga dan dia beri judul ‘Keluarga Bahagia’, iya aku berada di dalam keluarga bahagia. Anak-anak yang sehat, tidak pernah berulah yang membuat orang tuanya murka, berprestasi di sekolah. Suami orang yang selalu bertutur kata lembut, tak pernah sekalipun membentak apalagi berkata kasar, tidak banyak menuntut. Dan apa yang aku takutkan dulu tidak terbukti, hubungan intim suami istri, berlangsung seperti biasa, tidak ada yang berubah, kami bisa menikmatinya, much better. Lalu  kenapa aku harus meratap terus? Sepanjang usia banyak mengecap kisah suka cita, sedangkan kisah duka baru kali ini merasakan teramat, lantas kenapa aku harus mengabaikan kisah sukanya dan terlalu fokus pada duka?

 

Fabiayyi Alaa Irobbikuma Tukadziban, Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan, ayat 13 yang diulang sebanyak 31 kali dalam surat Ar Rahman.

 

Aku meraba perut bagian bawah, ada garis lurus yang tidak semua orang punya. Ini adalah sebuah tanda sayang dari Sang Kuasa, Dia Maha Tahu bahwa amalanku tidak cukup untuk menempati tempat terindah-Nya, maka Allah beri ujian ini. Bukankah setiap ada kebahagiaan diiringi kesedihan, dan setelah melewatinya akan ada pelangi menghiasi.

 

Aku berkata pada diri sendiri, “sisakan ruang dalam hati, gunakan itu untuk menerima diri sendiri apapun keadaannya, bukankah dunia ini fana, semua hanya titipan termasuk tubuhmu, kamu hanya ruh yang menempati tubuh ini. Gunakan sisa ruang itu untuk berdamai dengan keadaan, lapangkan dada, ikhlaslah dengan suratan, bukankah salah satu rukun iman adalah percaya pada qodo dan qodar. Lepaskan.”

 

Setiap orang berbeda proses dalam mencapai ikhlas, ada yang membutuhkan waktu yang lama ada pula yang sebentar. Tergantung seberapa besar keinginan untuk mencapainya dan sebesar apa usaha untuk mewujudkannya.

 

Aku memejamkan mata, meraup udara sebanyak yang aku mampu, menghembuskannya perlahan, menempatkan kedua telapak tangan pada perut bagian bawah, dan berkata, “I let you go. Terima kasih sudah menemaniku selama 38 tahun 2 bulan 6 hari, terima kasih telah membuatku menjadi wanita sempurna, terima kasih sudah membuatku menjadi seorang ibu, terima kasih sudah melengkapi hidupku. Terima kasih untuk rahimku.”

 

End.

 

Terima kasih untuk segenap jajaran tenaga medis di ruang Seruni, ruang Mawar Merah dan ruang Mawar Putih. Terima kasih juga untuk segenap jajaran tenaga medis di ruang Zaitun.  Terima kasih yang tak terhingga untuk Dokter Arif dan Dokter Taufik. Semoga Allah membalas atas kesigapan dan ketulusan dalam melakukan pekerjaan dan atas semua dedikasi yang telah di berikan.

Terima kasih untuk pembaca yang sudah berkenan mengikuti kisah ini, semoga bermanfaat.

Sedikit informasi :

  • Plasenta akreta adalah kondisi ketika ari-ari atau pembuluh darah pada plasenta bertumbuh pada dinding rahim terlalu dalam.
  •  Plasenta inkreta, yaitu ketika plasenta menempel semakin dalam pada rahim, bahkan hingga mencapai otot rahim.
  • Plasenta perkreta adalah plasenta bisa menembus dinding rahim dan menempel pada organ lain, seperti misalnya kandung kemih.
  • Plasenta previa adalah kondisi ketika letak plasenta rendah, sehingga menutupi bagian mulut rahim.





Oleh : Neng_Sri

Literasi# Lelaki Sempurna

 

setia,keriput,lelaki,sempurna,cerpen,tangan


Adakah lelaki sempurna di dunia ini? menurutku ada, aku saksinya. Bagiku dia sempurna, sesempurna cintanya padaku, tak peduli orang lain berkata mustahil tapi untukku dia sempurna dalam definisiku.

 

Usia pernikahan kami sudah memasuki seperempat abad, penerus generasi tidak akan pernah terlahir dari rahimku, karena aku sudah tak memilikinya.

 

“Kamu mungkin tidak masalah, tapi orang tuamu?” tanyaku waktu itu.

 

“Orang tuaku akan bahagia bila melihat anaknya bahagia.”

 

Meskipun syarat poligami terpenuhi tetapi dia tetap keukeuh menolaknya. Terakhir kali aku membujuk, memperlihatkan beberapa foto muslimah yang terpilih, tapi berakhir dengan kemarahannya.

 

“Untuk terakhir kalinya, jangan kamu membuatku marah lagi karena terus-terusan bicara mengenai ini!”

 

Aku terkesiap dengan nada suara tinggi yang terlontar pertama kali dari mulut suamiku.

 

“Tolong hargai keputusan suamimu, jangan memaksa lagi, bukankah seorang istri shalehah akan mematuhi apa kata imammnya?”

 

Aku terisak, merasa sangat bersalah telah memaksakan kehendak. Dia mendekat lalu duduk saling berhadapan, meraih kedua tanganku dan mengusapnya lembut.

 

“Sayang … maaf, bukan maksudku untuk bicara kasar. Aku tak tahu cara apa lagi agar kamu berhenti membicarakan itu, aku bosan. Jika kamu masih cinta, hargai perasaanku, atau kamu memang sudah tidak mencintaiku lagi?”

 

“Dengan entengnya kamu menyuruhku menikah lagi, padahal hati ini tak pernah sedikitpun memikirkan wanita lain, hanya kamu wanita yang akan menjadi istriku satu-satunya sampai nanti kita tua.” Kali ini nada suaranya pelan.

 

“M-ma-af.” Aku semakin terisak.

 

“Poligami itu memang diperbolehkan, tapi aku tahu batas kemampuanku.”

 

“Taadud seni rumah tangga paling tinggi, sulit, Sayang, aku tidak cukup ilmu untuk itu.”

 

“Kamu mau suamimu ini nanti berjalan pincang?”

 

Aku menggelengkan kepala sambil terus terisak.

 

“Tapi bukan itu saja, ‘kan kekurangannku?”

 

“Apalagi?” Dia terus mengusap tanganku dengan tersenyum penuh cinta, ah … betapa aku tak sanggup menatap tatapan itu.

 

“I-itu-.” Aku menunduk memainkan jari jemarinya. Dia mengangkat daguku memaksaku untuk menatap sorot mata teduhnya.

 

“Apapun itu aku menerimanya, seperti kamu menerima kekuranganku.”

 

Dia membawaku ke dada bidangnya, aku mendekapnya erat, sambil mencium pucuk kepalaku berulang kali, dan berucap, “Ana uhibukki fillah. Aku mencintaimu karena Allah.”

 

-----

 

Dia adalah lelaki dengan kesempurnaan fisik, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Berbadan tinggi tegap, rambut hitam bergelombang, mata sipit yang memancarkan kesejukan, bola mata gelap sepekat malam, bila tersenyum akan terlihat kalau kedua buah pipinya mempunyai lesung pipit, siapa yang tak akan terpesona melihatnya.

 

Bisa dikatakan kami saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Kuliah di Universitas Negeri  Bandung, mengambil jurusan yang sama yaitu Hukum, dia selalu meminjam catatan kuliahku padahal itu hanya akal bulusnya untuk lebih dekat denganku.

 

Kata mamah sejak kecil aku ririwit bahkan hingga dewasa masih menjadi langganan dokter. Pada tahun kedua kuliah kami menjalin hubungan, di tahun ketiga aku sudah merasakan ada sesuatu yang salah di dalam perut, tetapi aku abai akan hal itu. Pada tahun keempat baru aku memeriksakan dengan intensif ke rumah sakit, dia  setia mengantarku kontrol, ternyata tumor itu sudah merusak rahimku.

 

“Kamu nggak cape nganter aku bolak balik rumah sakit?”

 

“Nggaklah, demi kamu nggak kenal cape.”

 

Pada akhir perkuliahan pada saat mahasiswa lain diwisuda aku terbaring lemah di meja operasi. Setelah bergulat dengan pro dan kontra akan penyakitku akhirnya memilih jalan ini. Menurutku dia adalah tipe lelaki nekad, bagaimana tidak, dia tahu keadaanku sebelum melamar tetapi tetap menikahiku, bahkan dia sendiri yang menemani aku ketika operasi.

 

“Kamu nggak ikut wisuda?”

 

“Ikut, nggak seluruhnya, hanya intinya saja habis itu langsung nemuin kamu.”

 

“Kenapa? sayang ‘kan moment terakhir?”

 

“Momentnya pengen sama kamu. Kangen kamu terus, sih.”

 

“Ish … mulai deh, gombal.”

 

“Emang. Nikah, yuk!”

 

Aku terdiam, menatap pada kedalaman matanya mencari adakah gurauan di sana, netra kami saling bersitatap, bola matanya tidak bergerak sedikitpun, saat itu aku tahu, dia serius mengucap  kata ‘nikah’.

 

“Meskipun keadaanku begini?”

 

“Yap, memangnya ada apa dengan kamu?”

 

“Ish, kamu itu pura-pura nggak tahu atau bodoh sih?”

 

“Aku serius, Ai!”

 

“Aku sakit-sakitan terus. Nanti kalau aku sakit siapa yang ngurus kamu?”

 

“Makanya nikah yuk, Ai!”

 

“Nggak nyambung.”

 

Dia terdiam, menatapku lekat, lalu berkata, “Nikah, yuk. Aku ingin hubungan kita ada muaranya, salah satu impian hidupku selalu bersamamu. Kita sempurnakan rasa, kita minta restu orang tua juga restu dari Tuhan biar apa yang kita rasa menjadi pahala. Jangan terlalu dikhawatirkan sesuatu yang belum terjadi, hidup jangan dibikin ribet, Ai.“

 

Dia tipe orang yang punya keinginan susah untuk dibelokkan, itu salah satu point lebihnya, yang membuat hatiku tak bisa berpaling dan tentu saja aku menerima pinangannya.

 

-----

 

Dia memilih resign dari kantor advokad yang selama sepuluh tahun digelutinya, setelah aku mengalami kecelakaan yang mengharuskan kaki jenjangku tinggal satu dan memilih membuka usaha sendiri, kantornya pun berada di samping rumah dengan alasan tak ingin jauh dariku. Gombalan yang receh.

 

Kesabarannya tak terbatas, pasca kecelakaan aku mengalami insecure, merutuki takdir yang kejam menurutku. Emosiku sering tak terkendali, menjadi temperamental, menolak bertemu  dengannya, menarik diri dari dunia.

 

 “Aku cacat.”

 

 “Gerakku lambat.”

 

“Kamu pasti malu gandengan tangan denganku.”

 

“Orang-orang melihatku dengan tatapan aneh.”

 

“Aku benci.”

 

 “Aku tidak bisa mengurusmu dengan baik.”

 

Entah berapa banyak kata seperti itu yang aku ulang terus tapi dia tidak bosan mendengarkan, selalu tenang mengadapi keluh kesahku. Dia adalah pelengkap hidupku, penyempurna jalan hidupku, lelaki yang ditakdirkan untukku dan takdir tidak akan pernah salah menyapa.

 

“Kamu cukup ngurus aku dalam setiap do’amu selipkan namaku.”

 

“Aku yang akan mengurusmu, karena aku adalah qowwam-mu.”

 

Bagaimana bisa aku tak semakin dalam mencintainya.

 

-----

 

Ketika di peraduan, sering aku memandangnya sendu, meyakini bahwa dia pasti merindukan seorang istri sempurna dan aku tidak bisa memberikannya. Aku menatap dalam lelakiku, melantunkan do’a-do’a untukknya, tak terhingga rasa terima kasihku, tak cukup hanya dengan kata dan setelahnya pasti pipiku basah.

 

“Jangan ada pikiran semacam itu!” Seolah dia tahu apa yang sedang aku pikirkan.

 

“Aku tak memerlukan istri sempurna, kamulah yang membuatku sempurna.” Dia menghapus jejak air mataku.

 

“Kamu tidak merindukan seperti istri-istri yang lain?” Aku mengusap lembut wajah damainya.

 

“Hatiku sudah tertutup untuk perempuan lain. Cukup kamu percaya bahwa aku cinta kamu seperti kamu memandang samudra yang tak bertepi. Sedalam lautan yang tidak bisa diukur, seluas dan sedalam itu rasaku.”

 

 “Kita menua bersama, ya,” ucapnya pelan dengan merengkuhku ke dalam pelukan hangatnya.

 

“Wo ai ni,” lanjutnya tak lupa mencium lembut keningku.

 

“Seni seviyorum,”  balasku terbata dengan mata berembun.

 

Lalu kami tergelak bersama, kebiasaan menjelang tidur mengungkapkan kata cinta dari berbagai negara, entah itu bahasa Inggris, Korea, Jepang, Prancis, Italia atau yang lain.

 

Saling mengecup kening mengakhiri pillow talk malam ini.



Oleh Neng Sri