Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala

Tuesday 17 December 2019

Menggenggam Janji #Part 5



literasi, cerpen, cerbung,janji,cerita,genggam,sedih,novel,roman


Semalaman hujan tiada berhenti, meskipun hanya rintik kecil tapi mampu membasahkan bumi. Residu kehadirannya masih terlihat dari tetesan air pada ujung daun-daun. Hingga pagi ini, hari libur yang berselimut mendung, raga enggan beranjak masih betah  bermanja dengan bantal dan guling. Aku duduk dengan memeluk lutut yang tertekuk di atas ranjang, percikan hujan hinggap hingga di kaca jendela kamar. Aku memainkan embun yang ada pada kaca, jari-jariku meliuk-liuk pelan membentuk sebuah kata, lalu berhenti seketika. Aku terperanjat, ternyata mendung di temani petir yang menggelegar, padahal cakrawala belum menurunkan air. 

Aku tarik tangganku, lalu memandang deretan kata-kata yang berhasil diukir, ternyata ada banyak kata ‘Aa’ di sana. Seorang lelaki yang telah berhasil menyedot hati dan pikiran sejak berumur tiga belas tahun. Duniaku terpenuhi oleh sosok dirinya, aku mendesah resah.

Kembali aku memutar ulang pertemuan kemarin, rasa pilu masih menghuni kalbu. Apakah dia merasakan keresahan juga? Teringat sebuah benda yang diberikan padaku, bergeser sedikit mengambilnya di bawah bantal.

“Ini buat Neng. Untuk komunikasi kita biar cepet, nggak usah nunggu pos lagi kalau pengen tahu kabar, Neng.”

Aku menolak, bukan tidak mau tapi tidak terbiasa dengan pemberian barang mahal. Dia memaksa, “ini untuk menunjang usaha kita mendapat restu, Neng.” Alasannya.

Lalu aku akhirnya menerima benda tersebut, “nanti aku ganti, ya, A. Berapa harganya?”

“Ck … Neng sayang nggak sih sama Aa? Serius nggak? Aa ini siapanya Neng? Inget janji, Neng.”  Kulihat keningnya berkerut, bulu alisnya hampir bertemu, intonasi suaranya sedikit tajam.

Aku terkesiap, tidak sangka pertanyaanku membuat dirinya tersinggung. Aku yang tidak siap dengan amarahnya, menjadi sedikit menunduk.

“Neng cuma nggak biasa dibeliin barang mahal sama orang lain, Aa.”

Sadar aku menjawab sendu, dia mengulur meraih tanganku dan mengelusnya, “maaf, Aa sudah berkata kasar. Terima ya, Neng. Ini hadiah buat Neng sebagai tanda Aa nggak main-main sama janji. Aa sungguh-sungguh ingin menikah sama Neng, kita sedang tersandung masalah restu, kalau ada sesuatu ‘kan bisa langsung tahu, kita jadi bisa susun rencana dengan matang, Neng ngerti, ‘kan maksud Aa?” Dia menjelaskan dengan suara lembut.

Nokia 3310 berada dalam genggaman, menimbang, haruskah aku menghubunginya? Tiba-tiba aku terperanjat, dari balik jendela kaca kurang lebih sepuluh meter terlihat pasangan sedang berjalan pelan menuju rumah. Aku tak percaya, benarkah mereka datang? ‘bukan, itu bukan mereka,’ gumamku. Mulut bisa berkata bukan tapi hati kecil mengiyakan.  Aku bangkit dengan tangan menutup mulut, lalu bergegas keluar kamar, menuju pintu rumah, ternyata hati kecil tak pernah salah, mereka adalah guruku sewaktu SMP bersama suaminya, orang tua lelakiku.

Ada apa mereka kemari? Berkecamuk pertanyaan dalam pikiran, masih terlalu pagi jika berkunjung. Sesaat aku linglung, harus bagaimana. Masuk ke kamar, membuka lemari dan bercermin, penampilan masih semrawut, tak mungkin, ‘kan aku menemui mereka dengan penampilan yang memalukan. Masuk ke kamar mandi, hanya lima menit berada di sana, masuk lagi ke kamar dan merapihkan penampilan.

Aku lari ke belakang, menuju Bapak dan Mamah yang sedang berada di dapur, memberitahu siapa yang sedang berjalan kemari. Dengan terbata-bata, “Pak, Mamah, i-itu a-ada …,”  belum sempat menyelesaikan kalimat, terdengar ketukan pintu depan, di susul suara “asalammu'alaikum.” Itu pasti Bapak Syarif Wiranatakusumah, kami saling berpandangan, mereka mengerutkan dahi “siapa itu, Neng?” Perasaan was-was mulai melanda, kemudian Mamah dan Bapak berjalan menuju ke ruang tamu, “waalaikumsalam.” Mamah menjawab.

Tak lama kemudian Mamah kembali ke dapur, “Neng itu orang tua Aa, katanya mau jahit baju seragam ….” Beliau tidak melanjutkan, kata terakhirnya terdengar pelan.

“Seragam apa, Mah?” tanyaku penasaran.

“Seragam buat acara lamaran … si Aa.”

Duaarr

Suara Mamah terdengar pelan di telinga, tapi bagaikan suara petir yang menggelegar pada kalbu, tersentak seketika, kilatan listriknya mampu menyengat jantung. Setitik harapan masih kugenggam kemarin, tapi sekarang hangus terbakar.

Aku limbung, tulang seakan lepas dari raga, tak kuat menopang, segera mencari pegangan pada kursi, lalu mengempaskannya. Aku menangis tanpa suara isakkan, pipi yang basah menandakan pedih itu ada. Ini bukan lah bunga tidur, pagi ini adalah nyata adanya.


Oleh Neng Sri

No comments:

Post a Comment