Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala

Tuesday, 7 July 2020

Praduga #Part 1


praduka,prasangka,duduk berdua,bangku taman,cerpen,novel,cerbung,literasi




 

Langkahku terhenti, saat melihat dua orang yang aku kenal, duduk berdua di bangku taman. Terlalu takut akan pradugaku benar,  aku memilih menjauh.

 

Ini bukan pertama kali aku melihat mereka bersama, ini sudah yang ke tiga kalinya. Aku menghempaskan badanku di ranjang, melihat ke atas langit-langit kamar, otakku berpikir, mencerna sebuah situasi akhir-akhir ini. Aku bukan seorang anak kecil lagi, umur enam belas tahun cukuplah di katakan dewasa, bisa mengartikan sebuah tatapan, menerjemahkan sebuah gestur tubuh, cukup untuk memahami arti sebuah hubungan lawan jenis.

 

“Nes, hari ini aku nggak bareng kamu pulang, ya. Ada perlu dulu sama anak Paskibra. Khawatir kamu nunggu lama, pulang duluan aja, ya!” ucap Elok.

 

“Oke.”

 

“Nggak apa-apa? Bisa kan pulang tanpa aku?”

 

“Bisa. Iya nggak apa-apa. Aku duluan, ya.”

 

“Kamu pulang sama siapa?”

 

“Ada Rida.”

 

“Hati-hati ya, Nes. Kalau sudah sampai rumah kasih tahu aku, ya!”

 

Dialah Elok sahabatku semenjak SD, dia memang selalu mengkhawatirkanku, padahal aku sudah besar, perhatiannya tak pernah berubah dari dulu. Karakternya yang selalu ceria, cepat akrab dengan siapa pun, tidak salah jika temannya sangat banyak. Berbanding terbalik denganku, teman dekat hanya Elok dan teman sebangku.

 

Sebenarnya aku enggan pulang ke rumah, lelaki itu sudah dua hari berada di rumah ini. Ingin aku menginap di rumah Elok, tapi mengingat akhir-akhir ini dia sibuk, terpaksa mengurungkan niat. Sangat sulit tinggal bersama dengan ibu sambung dan suaminya, apalagi melihat tatapan sinis lelaki itu, lelaki yang terpaksa harus kupanggil bapak. Ibu sambungku menikah lagi setelah sebulan di tinggalkan oleh suaminya. Suaminya meninggal ketika aku berumur enam tahun yaitu bapak kandungku. Semenjak ibu sambungku menikahinya, entah berapa banyak aku mendapatkan luka lebam di sekujur tubuh. Hanya Elok lah yang tahu kisah di balik luka lebamku.

 

Aku mengambil sebuah buku bersampul biru, ada selembar kertas berwarna merah jambu berhias bunga di dalamnya, sangat cantik. Kertas itu tersimpan rapi, jika rindu sudah membuncah, aku baca tulisannya, berharap rasa rindu terobati tapi perkiraanku salah, rindu itu semakin mengakar kuat. Ketika mengingat mereka terlihat bersama, ingin ku robek kertas ini, tapi aku tak cukup kuat untuk membencinya, rasa rinduku mengalahkan pradugaku.

 

Pada suatu hari, ketika langit berwarna jingga, angin berhembus cukup kencang membuat rambut panjangku berayun-ayun. Aku berjalan pelan menyusuri trotoar, maksud hati mengindari tatapan sinis lelaki itu tapi malah mendapatkan kejutan. Lagi … aku menemukan kebersamaan mereka, pelan aku masuk ke toko itu. Gerakku bagaikan detektif handal, langsung rambut panjang aku sembunyikan di dalam topi. Rasa penasaranku tinggi, ingin aku tuntaskan praduga agar aku segera menentukan sikap.

 

Dengan hati-hati aku mendekat, mencuri obrolan mereka,  pura-pura memegang barang yang ada di pajangan.

 

“Bagas, kamu mau ngasih apa untuk hari jadi kita? nggak kerasa sudah satu semester, ya.”

 

‘Satu semester, itu artiya enam bulan?’ Benakku bertanya. Jadi mereka menjalin hubungan sudah enam bulan, lalu apa artinya kertas itu yang dia berikan empat bulan lalu? Naif sekali aku. Tak sanggup untuk melanjutkannya, aku berjalan meninggalkan toko, tapi naas karena terburu-buru aku menyenggol barang pajangan yang mengakibatkan barang tersebut jatuh, tak bisa di hindari mereka melihat ke arahku. Sial.

 

“Nes, kamu di sini?” tanya Elok dengan raut muka kaget. Aku melirik Bagas, kutemukan raut muka yang sama.

 

“I-iya.” Gagap aku menjawab.

 

“Aku pulang duluan, dah.” Cepat aku berlari, takut mereka bertanya lagi, aku tak cukup mahir untuk bersilat lidah. Tak kuhiraukan teriakan Elok dan Bagas. Sudah cukup bagiku untuk menyimpulkan keadaan.

 

Ah … rasa, baru pertama aku mengalaminya bahkan belum sempat aku menjawab tapi sudah terhempas ke dalam jurang yang dalam. Tulisannya membuat bunga tumbuh bermekaran memenuhi ruang kamarku setiap membacanya mampu membuat tubuhku dialiri ribuan kupu-kupu beraneka warna. Ternyata semua itu hanya sampah. Aku musnahkan kertas berwarna merah jambu dan hanya menyisakan debu. Pradugaku ternyata tidak salah.




Oleh : Neng Sri

No comments:

Post a Comment