![]() |
Langkahku terhenti, saat
melihat dua orang yang aku kenal, duduk berdua di bangku taman. Terlalu takut
akan pradugaku benar, aku memilih
menjauh.
Ini bukan pertama kali
aku melihat mereka bersama, ini sudah yang ke tiga kalinya. Aku menghempaskan
badanku di ranjang, melihat ke atas langit-langit kamar, otakku berpikir,
mencerna sebuah situasi akhir-akhir ini. Aku bukan seorang anak kecil lagi,
umur enam belas tahun cukuplah di katakan dewasa, bisa mengartikan sebuah
tatapan, menerjemahkan sebuah gestur tubuh, cukup untuk memahami arti sebuah
hubungan lawan jenis.
“Nes, hari ini aku
nggak bareng kamu pulang, ya. Ada perlu dulu sama anak Paskibra. Khawatir kamu
nunggu lama, pulang duluan aja, ya!” ucap Elok.
“Oke.”
“Nggak apa-apa? Bisa
kan pulang tanpa aku?”
“Bisa. Iya nggak
apa-apa. Aku duluan, ya.”
“Kamu pulang sama
siapa?”
“Ada Rida.”
“Hati-hati ya, Nes.
Kalau sudah sampai rumah kasih tahu aku, ya!”
Dialah Elok sahabatku
semenjak SD, dia memang selalu mengkhawatirkanku, padahal aku sudah besar,
perhatiannya tak pernah berubah dari dulu. Karakternya yang selalu ceria, cepat
akrab dengan siapa pun, tidak salah jika temannya sangat banyak. Berbanding
terbalik denganku, teman dekat hanya Elok dan teman sebangku.
Sebenarnya aku enggan
pulang ke rumah, lelaki itu sudah dua hari berada di rumah ini. Ingin aku
menginap di rumah Elok, tapi mengingat akhir-akhir ini dia sibuk, terpaksa
mengurungkan niat. Sangat sulit tinggal bersama dengan ibu sambung dan
suaminya, apalagi melihat tatapan sinis lelaki itu, lelaki yang terpaksa harus
kupanggil bapak. Ibu sambungku menikah lagi setelah sebulan di tinggalkan oleh
suaminya. Suaminya meninggal ketika aku berumur enam tahun yaitu bapak kandungku.
Semenjak ibu sambungku menikahinya, entah berapa banyak aku mendapatkan luka
lebam di sekujur tubuh. Hanya Elok lah yang tahu kisah di balik luka lebamku.
Aku mengambil sebuah
buku bersampul biru, ada selembar kertas berwarna merah jambu berhias bunga di
dalamnya, sangat cantik. Kertas itu tersimpan rapi, jika rindu sudah membuncah,
aku baca tulisannya, berharap rasa rindu terobati tapi perkiraanku salah, rindu
itu semakin mengakar kuat. Ketika mengingat mereka terlihat bersama, ingin ku
robek kertas ini, tapi aku tak cukup kuat untuk membencinya, rasa rinduku
mengalahkan pradugaku.
Pada suatu hari, ketika
langit berwarna jingga, angin berhembus cukup kencang membuat rambut panjangku berayun-ayun.
Aku berjalan pelan menyusuri trotoar, maksud hati mengindari tatapan sinis
lelaki itu tapi malah mendapatkan kejutan. Lagi … aku menemukan kebersamaan
mereka, pelan aku masuk ke toko itu. Gerakku bagaikan detektif handal, langsung
rambut panjang aku sembunyikan di dalam topi. Rasa penasaranku tinggi, ingin
aku tuntaskan praduga agar aku segera menentukan sikap.
Dengan hati-hati aku mendekat,
mencuri obrolan mereka, pura-pura
memegang barang yang ada di pajangan.
“Bagas, kamu mau ngasih
apa untuk hari jadi kita? nggak kerasa sudah satu semester, ya.”
‘Satu semester, itu
artiya enam bulan?’ Benakku bertanya. Jadi mereka menjalin hubungan sudah enam
bulan, lalu apa artinya kertas itu yang dia berikan empat bulan lalu? Naif
sekali aku. Tak sanggup untuk melanjutkannya, aku berjalan meninggalkan toko,
tapi naas karena terburu-buru aku menyenggol barang pajangan yang mengakibatkan
barang tersebut jatuh, tak bisa di hindari mereka melihat ke arahku. Sial.
“Nes, kamu di sini?” tanya
Elok dengan raut muka kaget. Aku melirik Bagas, kutemukan raut muka yang sama.
“I-iya.” Gagap aku
menjawab.
“Aku pulang duluan, dah.”
Cepat aku berlari, takut mereka bertanya lagi, aku tak cukup mahir untuk
bersilat lidah. Tak kuhiraukan teriakan Elok dan Bagas. Sudah cukup bagiku
untuk menyimpulkan keadaan.
Ah … rasa, baru pertama
aku mengalaminya bahkan belum sempat aku menjawab tapi sudah terhempas ke dalam
jurang yang dalam. Tulisannya membuat bunga tumbuh bermekaran memenuhi ruang
kamarku setiap membacanya mampu membuat tubuhku dialiri ribuan kupu-kupu
beraneka warna. Ternyata semua itu hanya sampah. Aku musnahkan kertas berwarna
merah jambu dan hanya menyisakan debu. Pradugaku ternyata tidak salah.
No comments:
Post a Comment