Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala

Thursday 21 November 2019

Pelukan #Part-1

Aku memejamkan mata, meresapi ketenangan, menikmati pelukannya.


“Seperti inilah yang aku rindukan, sudah lama aku tidak mendapatkannya, hampir lupa bagaimana rasanya.”  Aku berkata lirih.


literasi,cerbung,cerpen,novel,romantis,cerita,pelukan,dekapan


Dia terkekeh, kedua tanggan yang kokoh semakin mengeratkan pelukan, aku memainkan rambut halus yang berjejer rapi di tanggannya. Dia meringis, geli katanya, tapi aku suka memainkannya … lembut. Aku bisa merasakan dagunya menempel pada atas kepalaku,  “nyaman?”  Tanyanya.

“Hm.”  

Aku suka dan aku menikmatinya.

Aku seorang ibu rumah tangga, memiliki dua anak kembar, mereka baru masuk perguruan tinggi swasta di ibu kota Jakarta dan ngekos di sana, tahun depan genap berusia empat puluh tahun, sedangkan dia dua tahun di bawahku. Pertemuanku dengannya tanpa sengaja, pada sebuah lift pertama kali kami bertemu.

“Makan siang?”  dia membuka obrolan, dagunya menunjuk pada sebuah rantang yang aku bawa.

“Tadinya, tapi tidak jadi,” keluhku.

“Senasib,” katanya.

Ketika itu, aku hendak mengantar makan siang ketempat kerja suamiku, tadinya ingin memberikan kejutan tapi sialnya suamiku tidak ada di tempat. Pun dengannya ingin memberikan kejutan makan siang dengan istrinya, tapi nasib tidak beruntung, istrinya tidak ada waktu untuk sekedar makan siang dengan suaminya, pekerjaannya menuntut  untuk segera diselesaikan.

Pada akhirnya obrolan berlanjut di sebrang gedung, di sebuah taman kami duduk di bawah pohon rindang dan masakankanku tidak sia-sia dibawa, makan siang bersama sambil menertawakan nasib masing-masing. 

Kebetulankah? Aku rasa tidak, ini sudah takdir-Nya, bukankah tidak ada yang kebetulan dengan hidup ini.

Di tempat ini kami membuat janji untuk bertemu, sebuah kafe tempatnya bekerja. Istrinya pergi dinas keluar kota, dan suamiku? Jangan ditanya, sudah jam sebelas malam, dia tidak menanyakan keberadaanku, berkali-kali kuintip handphone, berharap dia bertanya tapi sudah tiga jam di luar rumah, chat darinya tak muncul juga. Mungkin masih berkutat dengan istri keduanya yang selalu dia jinjing, ya … dia akan betah menghabiskan waktu berjam-jam bersama laptop kesayangannya, konyol sekali aku cemburu pada sebuah benda, sedih? Aku sudah terbiasa.


Apakah hubungan kami sudah sampai ranjang? Jawabannya tidak, atau belum? Entahlah. Kami mengalami nasib yang sama, aku merasa di perhatikan dan dia merasa di butuhkan maka itulah hubungan kami semakin erat.

‘Bagaimana hubungan dengan suamimu, ada kemajuan?”

“Masih seperti kemarin … stuck.”

“Berpikir positif saja, mungkin dia sedang kejar target biar bisa bawa kamu honeymoon lagi. Siapa tahu mau bikin kejutan honeymoonya ke luar negeri. Sudah dicoba saranku?”

“Sudah dan jawabannya selalu sama … huft.”

Suamiku setahun setengah belakang ini berubah, bila ada di rumah dia akan betah dengan pekerjaannya, hingga dini hari  jika aku protes dia akan berkata,
“Ayah banyak kerjaan dikejar deadline lagi pula sekarang kan banyak kebutuhan, anak-anak perlu biaya tidak sedikit.”

Kami sudah mengarungi rumah tangga dua puluh tahun, aku hapal sekali karakternya, aku yakin perubahan sikapnya tidak ada sangkut pautnya dengan perempuan lain diantara kami, sekarang seluruh hidupnya habis untuk pekerjaan bahkan terkadang di hari libur sekalipun tak menyisakan waktu  untukku  … istrinya.

I want my life back … aku ingin suamiku yang dulu, sebelum menduduki jabatan tinggi di kantornya. Yang punya waktu untuk mendengarkan celotehanku, yang punya waktu untuk becanda, yang punya waktu untuk jogging bersama, yang punya waktu untuk makan malam berdua, sekarang kebiasaan pillow talk sebelum tidur pun ikut hilang.

Dan itu sangat berpengaruh terhadap aktifitas kami di atas ranjang. Dulu setiap minggu kami biasa melakukan tapi sekarang entah berapa purnama suamiku tahan untuk tidak menyentuhku. Sudah aku coba saran dari berbagai pihak tapi berakhir dengan penolakan dengan alasan cape.

Setelah mengenal lelaki itu, hari-hari tidak berasa sepi, ada dia yang selalu memberikan semangat, selalu mendengar keluh kesahku. Kehidupan pernikahannya sedang bermasalah, istrinya yang bekerja siang hari sedangkan dia bekerja malam hari, bisa dihitung berapa jam mereka bisa bertatap muka lebih lama setiap harinya. Pernikahannya sudah berumur sebelas tahun dan belum di karuniai anak.

“Mengapa tidak kau minta istrimu berhenti bekerja?”

“Dia tidak mau, katanya jenuh di rumah terus.”

“Siapa tahu kalau berhenti bekerja istrimu bisa hamil.”

“Istriku keras kepala, susah dibelokkan pemahamannya.”

“Terus  ke dokternya?”

“Percuma konsultasi ke dokter kandungan hebat sekalipun kalau tidak di implementasikan, hasilnya zero.”

Ini adalah bulan ke delapan terhitung sejak pertemuan di lift gedung. Entah apa maksud takdir mempertemukan kami, bertemu pada keadaan pernikahan masing-masing sedang tidak sehat, aku belum bisa mendapatkan jawabannya. Kami hanya menjalani takdir, untuk saat ini kami merasa nyaman, sebuah rasa yang baik untuk sebuah hubungan.

Entah berapa lama kami dalam posisi seperti ini, aku merasakan kenyamanan, enggan untuk melepaskan dekapannya. Suara musik terdengar lembut, mengalunkan melodi yang membuat suasana semakin romantis. Hembusan nafasnya dapat kurasakan di belakang telinga membuat rasa yang berbeda dan suara jantungkupun  berdetak lebih kencang.

Dia membalikan badanku, merapihkan rambut yang jatuh ke depan, tangannya mengangkat daguku, tatapan matanya mampu membius. Aku terpaku, detak jantungku semakin tak berirama, kening kami bersentuhan, aku pejamkan mata, aroma parfumnya dapat tercium … sangat menggoda. Dia berbisik pada telingaku dapat kudengar nafasnya memburu.

“Ijinkan aku …,” suaranya parau.

“Ini tidak benar, Rey, ini sudah jauh,” cegahku.

“I know … please.”

Dia memohon, hati berontak dan berkata jangan, sesaat berkelebatan wajah suami dan anak-anak tapi tidak sejalan dengan reaksi tubuh. Nafas kami saling memburu, adegan selanjutnya tidak dapat kami cegah, sentuhan ini … aku mendambanya sudah lama,  aku membutuhkan dan menginginkannya, pagutan kami terlepas berhenti karena kehabisan napas. Lalu terdengar dering suara dari dalam tasku, aku buka ternyata suamiku menelepon. Aku menatapnya heran ‘benarkah ini suamiku?’ tanyaku dalam benak, seketika aku tersadar dan langsung berdiri.

“Aku pulang.”

Dia memegang tanganku menahan untuk pergi

“Ini sudah jam dua belas malam lebih, Sya.”

“Antarkan aku pulang, Rey.”

oleh Neng Sri

No comments:

Post a Comment