Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala

Friday 29 November 2019

Menggenggam Janji #Part-3


literasi,cerpen,cerbung,janji,genggam,novel



Aku anak kedua perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara. Setelah lulus sekolah, memilih kursus menjahit, mengingat orang tua sebagai buruh pabrik, sedangkan kakakku sudah kuliah dan adikku baru masuk sekolah menengah atas, jika aku meneruskan kuliah pasti sangat berat bagi kedua orang tuaku.

“Punten, kiriman pos.”

Suara itu yang paling di tunggu dalam setiap penantian, hanya lewat untaian kata kami saling berbalas rindu. Aku berlari ke arah sumber suara, Pak Pos sudah hapal sekali surat itu untukku.

“Duuhhh … yang dapat surat dari pacar, meni semringah kitu.”

Aku menerimanya dengan tersipu malu. Surat akan datang sebulan sekali atau lebih tergantung kadar kerinduan, lembaran kertas inilah yang setidaknya sedikit mengobati sakit karena merindu.

Tak pernah kumerasa jemu tuk menghitung berapa purnama lagi akan dilewati, karena hati meyakini bahwa dia akan menepati janji. Di penghujung tahun keempat, ketika mentari berwarna jingga keemasan, dan bunga Desember menampakkan warna merah merekah, aku sedang di depan mesin yang sekarang menjadi rutinitas harian menambah penghasilan, terdengar suara deru motor berhenti di depan rumah.

Deg … dada langsung kembali berdetak kencang, nurani mengatakan bahwa dia yang datang, hati berdebar mengingat ini adalah tahun yang di nanti.

Aku langsung bergegas keluar tak sabar melihat yang datang dan ya … nurani tak salah, ketika dia sedang membuka jaket, dejavu … kejadian delapan tahun silam terulang ... Tatapan mata dan senyumannya mampu menghipnotis ... aku membeku.

Kali ini bukan wajah yang menghangat, tapi mungkin memerah, ada ribuan kupu-kupu indah menari-nari berwarna-warni menggelitik membuat diri untuk segera memberikan senyuman. Senyuman yang selama empat tahun tersembunyi menanti waktu yang tepat.

Senang, rindu, sedih bercampur menjadi satu, hanya lewat tatapan kami saling bicara. Ingin rasa menghambur memeluk dirinya, menabrak dinding norma, menangis menumpahkan segala rasa yang terpendam, tapi malu masih mendominasi. Dia mendekat, aroma maskulin langsung tercium, aroma ini yang ditinggalkan empat tahun silam.

“Asalamualaikum, Neng,” sapanya.

Suara itu, suara yang tak pernah hilang dalam ingatan, yang selalu terngiang setiap saat, yang selalu menemani kala diri dilanda rindu.

“Waalaikumsalam, A.”

“Sehat, Neng?”

“Alhamdulillah, A.”

“ Aa, gimana kabarnya?”

“Alhamdulillah sehat, Aa sekarang cape, Neng.”

“Mengapa langsung kesini? nggak istirahat dulu?”

“Pengen istirahat di sini sambil lihat, Neng.”

Blush … seketika wajahku menghangat. Sesaat aku terkesima, wajah yang selalu hadir di pelupuk mata, yang selalu bertanya pada sang waktu kapan akan bertatap lagi kini menjadi kenyataan, berdiri dengan tegap di hadapan, wajah yang menyiratkan kedewasaan.

“Ini  nggak di suruh masuk gitu, Neng?”

“Eh … iya lupa, masuk, A.”

Kami duduk saling berhadapan dalam keadaan canggung, meskipun getar itu terasa dalam, tapi kami menyembunyikannya, lewat binar matanya aku tahu dia pun merasakan hal yang sama denganku … rasa membuncah karena kebahagiaan,

“Neng,  besok ke rumah ya,  Aa mau kenalin, Neng sama orang tua.”

Bahagia bercampur takut menyambut penawarannya, karena artinya aku akan bertemu dengan guru SMP dulu, Ibu Ningsih Wiranatakusuma dan suaminya yang semua orang pasti mengenalnya, mengingat beliau adalah anggota DPRD, Bapak Usman Wiranatakusuma.

Sebuah kasta yang teramat jurang.

“Aa … Neng takut.”

“Takut apa? memangnya Bapak sama Ibu Aa macan?”

“Bukan gitu, Aa. Ibu Aa guru Neng waktu SMP, Bapak Aa pejabat. Ari orang tua Neng cuma
buruh pabrik.”

“Mengapa ada pikiran kaya gitu?”

“Neng, hanya takut orang tua Aa nggak setuju jalan bareng sama anak buruh pabrik.”

“Neng, Aa mau tanya, Neng sayang nggak sama Aa?”

“Iya.”

“Iya apa?”

“Ish … Aa,  iya atuh sayang, makanya Neng nungguin Aa.”

“Percaya sama Aa?”

“Percaya.”

“Kalau itu terjadi, mau berjuang bareng?”

Aku langsung mendongkak, melihat netranya, benarkah yang aku takutkan sedang terjadi.

“Neng? Mau berjuang?” Dia mengulang pertanyaan.

“Iya, A.” Aku menjawab dengan lirih.


************

Usianya memasuki seperempat abad, sepakat untuk menghalalkan ikatan, menyempurnakan rasa, mengabadikan dalam bingkai pernikahan, mengarungi bahtera rumah tangga bersama, daripada merana menahan gejolak rasa yang belum pada tempatnya.

Meminta restu orang tua merupakan suatu kewajiban, karena dari sana terdapat keberkahan. Sedikit banyak aku khawatir, mengingat selama beberapa kali kunjungan, sikap yang ditunjukan kurang berkenan, meskipun tidak keluar lewat kata tapi disini … di hati meraskan ada sesuatu. Begitu pula dengan orangtuaku, ketika maksud disampaikan, bukan restu yang terucap melainkan keraguan.

“Shalat istikharah dulu, Neng sebelum memustuskan, sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya di pertimbangkan dengan masak agar tidak ada penyesalan di kemudian hari.” Begitu wejangan dari lelaki yang kuhormati.

“Neng kita harus tahu diri darimana kita berasal, jangan mengharap terlalu tinggi nanti kalau jatuh sakit pisan.” Sambung ibuku mengingatkan.

Ada apa ini ? jika tidak berkenan kami menjalin, mengapa selama ini dibiarkan bertemu. Jika perasaan ini salah mengapa membiarkan cinta terbangun dengan megah.


oleh Neng Sri

No comments:

Post a Comment