Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala

Tuesday 19 November 2019

Menggenggam Janji #Part-1


literasi, cerbung, tulisan,cerita,cinta,roman,novel,janji


Tahun 1990 bulan Juli hari Senin, upacara pertama di sekolah dengan seragam putih biru. Aku di barisan pertama karena bertubuh mungil. Tepat didepan sana, sejajar dengan jarak kurang lebih tiga meter suara pemimpin upacara terdengar lantang, kuperhatikan punggungnya berdiri tegap dengan bahu yang kokoh. Setelah mendapat jawaban dari pembina upacara, dia membalikan badan, tepat pada saat itulah netranya bersirobok dengan netraku, sret … entah berapa detik kami saling pandang … sesaat … lalu dia tersenyum … ces … wajahku tiba-tiba merasakan hangat,’apa ini?’ tanyaku dalam benak. Aku langsung mengalihkan pandangan, begitupun dengan dia.

Dari hasil menguping obrolan teman-teman, dia kelas tiga A, anggota paskribra, juga anak dari guru bahasa Indonesia, Ibu Ningsih Wiranatakusuma. Kelas ruanganku dengannya jauh kalaupun bertemu sesekali dan jika berpapasan selalu memberikan senyuman. Satu hal yang selalu aku ingat dari dia yaitu cara berjalannya, memasukan kedua tangan ke dalam saku celana dengan kepala sedikit menunduk.

Lalu takdir mempertemukan kembali di sekolah lanjutan atas yang sama, dia masih dengan paskibranya, aktif di Osis dan anak Fisika. Entah sejak kapan memulai, siapa yang memulai, kami selalu bertemu di perpustakaan, setiap hari, seperti menjadi jadwal tambahan sekolah. Tak sepatah katapun yang keluar, tak ada tegur sapa, tak ada yang berani memulai, menyukai dalam diam, tapi saling mencuri pandang dengan senyum yang disembunyikan. Apakah panah cupid sudah masuk ke dalam hati kami? Entahlah … yang aku rasa bertemu dengannya menjadi sebuah candu, walaupun hanya lima menit tapi itu sudah cukup menambah nutrisi.


Kelulusan kelas tiga akan segera datang, perasaan sendu mulai hadir, hati mulai berembun tinggal menunggu waktu berubah menjadi deras, mulai menghitung hari kapan raga akan berjarak jauh, wajah tak lagi menampakan sinarnya, mendung tak dapat lagi ditahan, enggan untuk berpisah.

Berdiri di jajaran rak buku, pikiran tak bisa lagi fokus, tangan memegang buku tapi bukan dibaca melainkan hanya dilihat, tanpa disadari dia sudah ada disamping kanan. Bahuku bersentuhan dengan lengannya, terhalang oleh seragam sekolah, aroma maskulin tercium, satu tangan memengang buku satu tangan lagi memegang dada sebelah kiri, mengapa detaknya begitu cepat, apa sedasyat ini pengaruhnya jika berdekatan sedekat ini dengan dia?

Hening.

Tak ada yang berani memulai berucap, masing-masing dengan pikirannya sendiri, menikmati kedekatan berdua dengan suara di dada yang semakin tak karuan. Lalu dia menoleh, aku pun sama, dan menetap saling mengunci pandang … sedetik … dua detik … tersenyum, lalu pandangan beralih kembali ke rak buku . Tangannya menelusri jajaran buku, entah apa yang dicari atau hanya pengalihan saja ... dan dia berkata,

“Aku nerusin ke Magelang, mungkin empat tahun.”

Aku menunduk semakin dalam.

Ke Magelang atau tidak, tetap akan berpisah.

“Do’ain supaya lancar sekolahnya.”

Aku membisu, dari ujung mata terlihat dia melirikku.

“Jangan sedih …  Aa, janji setia.”

Dia tahu isi hatiku? Dia tahu apa yang aku rasakan?

“Tunggu Aa, ya! Bisa kan?”

“Neng …”

“Hhmm.”
        
“Aa, pergi.”


-- by Neng Sri --

No comments:

Post a Comment