Source Code

WEB, DESKTOP, MOBILE, Mata Kuliah, Ebook, Artikel, Jurnal Teknologi Informasi, Inspirasi , Motivasi, Literasi, Seputar Islam dan Cerita Lucu

Gambar Koala
Showing posts sorted by relevance for query literasi. Sort by date Show all posts
Showing posts sorted by relevance for query literasi. Sort by date Show all posts

Sunday 9 August 2020

Senja

 

sunset,senja,cerpen,pohonkelapa,pilu,novel,literasi


Seberapa besar kau mengagumi senja? Apakah kau masih mengagumi senja seperti diriku? Aku masih di sini, masih percaya bahwa kau akan tetap sama menggagumi hari yang berwarna jingga. Apakah kau di sana saat ini sama dengan ku? menikmati pancaran cahaya yang berwarna indah siap menyambut langit gelap. Aku harap kau begitu.

 

Tempat ini tidak pernah berubah, meskipun musim sudah berganti puluhan kali, masih terbentang luas permadani indah dipayungi pohon kelapa yang berjejer kokoh. Apakah kau tahu? aku bersandar pada pohon kelapa yang melengkung indah, goretan itu masih ada, setelah kita membuatnya kau pun berucap, “aku pasti ke sini lagi menemuimu.”

 

Aku tak bisa mengartikan kata-katamu, hanya bisa membalas tatapan matamu dalam. Berlebihankah bila aku berkeyakinan kita memiliki rasa yang sama? Lengkungan bibir ke atas ketika bertemu menghasilkan senyuman yang tak pernah pupus dalam penglihatan, degup jantung yang bertalu cepat di saat bersama, pancaran ketidaksukaan ketika akrab dengan yang lain, risau hati jika tidak bersua walau sehari. Benarkah apa yang aku pikirkan?

 

“Dek, kenapa Mas pengen ketemu terus sama kamu?”

 

“Dek, jangan terlalu deket sama Agung, Mas ndak suka!”

 

“Dek, belajar yang giat buat masa depanmu!”

 

“Dek jangan lupa sarapan sebelum berangkat sekolah, itu penting buat menjaga konsentrasi belajar kamu.”

 

Deretan kalimat yang sering kau ucapkan. Aku rindu perhatianmu, Mas.

 

Aku berjalan gontai, meninggalkan tempat di mana kau berjanji menemuiku, warna jingga sudah berubah warna, benda pipih ini masih terus aku genggam erat, berulang kali membukanya berharap ada balasan darimu, tetapi nihil.

 

Berpuluh purnama aku memendam rindu, memikirkanmu yang sudah satu tahun ini tidak lagi mengirim kabar. Sudah berapa kali si mbok menasehati untuk melupakanmu, mengomel-ngomel karena aku jarang menyentuh nasi, bagaimana bisa aku makan dengan lahap sedang pikirannku terkuras kearahmu, haruskah aku pupus rasa ini?

 

Pada pertengahan tahun, di saat angin sering berhembus kencang aku merasakan kehadiranmu di sini, benarkah firasatku? Tapi aku tepis tak mungkin kau pulang tanpa mengabari, bukankah kau sudah berjanji jika pulang akan menemuiku.

 

Terlalu sering tidur menjelang pagi, di tambah kurang asupan nutrisi, membuat pertahanan tubuhku pun turun, dengan terpaksa aku berobat ke puskesmas.

 

Aku masuk ke ruang periksa setelah namaku dipanggil.

 

“Silahkan duduk,”  kata orang berjas putih yang sedang menunduk.

 

Langkahku terhenti, menunggu orang berjas putih bersuara lagi untuk meyakinkan pendengarannku, suara itu … sekian lama aku menantikannya, dia mengangkat kepala -mungkin heran kenapa pasien  tidak duduk juga- netra kami bersirobok, aku terbelalak dapat ku tangkap tatapan matanya pun sama kagetnya, meskipun tertutup masker tapi aku bisa mengenali sorot matanya. Perlahan berjalan dan duduk di hadapannya, sesaat kami membisu, dalam otak tersimpan belasan pertanyaan tapi aku bingung memulai darimana.

 

“Ehm.” Dia memecah kebisuan.

 

“Apa yang dirasakan, Mbak?”

 

‘Mbak?’ tanya ku dalam benak. Oh … ya Gusti, mana panggilan ‘Dek’-nya, mustahil dia tidak mengenaliku, mengapa dia berpura-pura, apakah dia tidak mau kenal denganku lagi atau dia sudah melupakanku, secepat itukah hatinya berubah?

 

“Pusing,” jawabaku singkat. Aku memberanikan diri menatap kearahnya tajam, tak kualihkan pandanganku walau sekejap, rasa rindu, marah, kesal, heran, kecewa berbaur menjadi satu.

 

“Panas?” tanyanya tanpa menoleh ke depan dia tetap menunduk menulis sesuatu pada secarik kertas.

 

“Sedikit.”

 

“Perutnya sakit?”

 

“Iya.”

 

“Mual?”

 

“Iya.”

 

“Sudah berapa hari?”

 

“Satu tahun.”

 

Gerakan tangannya berhenti, dia mengangkat kepala, sesaat pandangan kami bertemu, terlihat sorot mata yang … entahlah.

 

“Silahkan berbaring.”

 

Dengan telaten dia memeriksa, ketika gerakkan tanganya terangkat ke atas kulihat sebuah cincin putih melingkar indah pada jari manisnya, hatiku mencelos seketika itu pun aku mengerti, kupalingkan kepala ke arah kiri menahan sesak di dada.

 

Aku turun tanpa bertenaga, tak ada lagi tatapan tajam dariku, tak ada lagi belasan pertanyaan dalam benak, sebuah benda mengkilap pada jari kirinya sudah menjawab semua rasa penasaranku, aku tahu … aku paham.

 

“Usahakan jangan sampai telat makan, nanti lambungnya tambah sakit ….”

 

Selanjutnya aku tak menyimak kata-kata yang dia ucapkan, aku sibuk menata hati yang porak-poranda, menengadah mencegah air mata turun.

 

“Silahkan kertas ini bawa ke ruangan sebelah, semoga lekas sembuh.”

 

Dengan menunduk kuayunkan langkah menuju pintu, tanganku berhenti ketika akan memutar knop pintu, mendengar dia berkata, “Dek, jangan banyak pikiran.” Aku tak menoleh kearahnya, tak ada guna nasehat itu terucap dari mulutnya. Aku menarik napas panjang dan membuka pintu keluar.

 

Senja … kali ini dan seterusnya aku tak akan menantikanmu, meskipun warna jingga sangatlah elok, tetapi tetap kehadiranmu hanya akan mendatangkan sembilu. Kuputuskan mengakhiri kebodohan yang aku pelihara bertahun-tahun, setitik asa tersimpan dalam diri, aku pikir itu sudah cukup untuk merenda bahagia setelah kamu meretakkan rasa berkeping-keping.



Oleh : Neng Sri

Friday 27 December 2019

Layangan Putus #Opini


selingkuh,cerai,opini,layangan,putus,literasi,novel


Pernah dengar atau baca kisah Layangan Putus? Sampai viral se-Indonesia. Pertama kali tahu cerita Layangan Putus di beranda Facebook dan yang  bikin penasaran karena hari itu hampir beranda saya di penuhi cerita Layangan Putus.

Tulisan ini merupakan sebuah opini di balik kisah Layangan Putus. Selamat membaca semoga kita bisa ambil hikmah dan pelajaran dari kisahnya.

---------


Awal November hari Jum’at siang saya membaca sebuah kisah nyata yang ditulis di grup kepenulisan yang diasuh oleh Pak Isa Alamsyah dan Ibu Asma Nadia. Sebuah kisah yang mengiris hati karena tentu saja ketika menuliskan kisah hidupnya keluar dari hati dengan perasaan dan penghayatan yang begitu dalam sehingga kata-kata yang tertuang mampu membuat pembaca ikut merasakan sedih, perih, dan dukanya. Dan sukses membuat saya baper berhari-hari … hiks hiks hiks.

Speechless … saya tidak mengerti, sulit di percaya, karena tokoh yang dibicarakan merupakan orang yang di lingkungan sekitarnya adalah orang-orang yang mengerti agama, dilihat dari channel YouTube yang di milikinya.

Setelah sholat Magrib pun rongga dada masih terasa sesak, dengan suara bergetar menahan tangis, saya bilang ke suami, “Ayah kalau ayah sudah sukses, kaya raya jangan lupain saya, ya!” Kening suami berkerut and then saya ceritakan kisah tersebut.

"Sudah do’ain saya belum?" Itu tanggapan pertama darinya. Saya tersentak, karena memang jarang meminta untuk satu hal ini … do’a tentang kesetiaan pasangan baik saya maupun suami karena saya pun tak luput dari goadaan.

Saya jawab tergagap, "iya pasti lah do’ain."

"Apa do’anya?" Tanya selanjutnya.


-----
Saya tidak menentang syariat yang sudah tertulis dalam kitab suci Al-Quran.
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi , dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa/4 : 3)

Saya garis bawahi kata adil. Adil dalam pandangan saya, jika istri ke satu di beri nafkah lahir 10 juta maka istri kedua pun 10 juta, beda lagi dengan nafkah untuk anak, istri kesatu anaknya dua pasti berbeda kebutuhannya dengan istri kedua yang anaknya tiga. Adil dalam materi bukan sama rata. Begitu pun untuk adil dalam jatah bergilir, istri kesatu tiga hari maka istri kedua pun tiga hari. Tetapi untuk perasaan, rasa sayang, rasa cinta, suami tidak akan mampu bersikap adil, pasti akan condong terhadap salah satu istri. Kenapa, karena dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” (An-Nisa/4 : 129)
Ada ribuan kisah poligami, ada yang benar-benar sesuai tuntunan syariat, niat karena lillah hitaala di sadari dan di ketahui oleh ketiga belah pihak beserta keluarga maka kehidupan poligami insyaallah langgeng. Ada yang di awali perselingkuhan, kebohongan, dan pasti menimbulkan sakit hati lalu berakhir dengan perpisahan tapi tidak sedikit yang terpaksa menerima poligami dengan pertimbangan ekonomi dan anak.
Dalam Islam, sependek pengetahuan saya, jika suami ingin menikah lagi tidak ada syarat atau aturan wajib haruis ada ijin dari istri sebelumnya, akan tetapi Islam yang saya kagumi sangat menjungjung tinggi adab, sopa santun, tata karma karena di atas ilmu ada adab.
Maka maaf dalam kasus layangan putus, sang suami yang berpendidikan dan berpengetahuan Islamnya bagus, tapi beliau tidak menggunakan adab, buat saya jatuhnya dzolim terhadap istri, karena di awali dengan perselingkuhan apapun alasannya.
Jikalau poligami itu memang mudah untuk di jalankan, tidak mungkin nabi besar Muhammad SAW, melarang poligami yang akan di lakukan menantunya Ali bin Abi Thalib terhadap putrinya Fatimah. Ali menjalankan poligami setelah putri dari baginda Muhammad SAW meninggal.
Nabi sendiri pun menjalakankan pernikahan monogami dengan Khadijah selama 25 tahun setelah istrinya wafat lalu mendapatkan wahyu  beliau baru menjalankan poligami.
Dan kesalehan, ketakwaan Nabi Muhammad tidaklah sama dengan umatnya.
Fuih … membahas poligami akan melebar dan berat, jadi jika ada niat ingin menikah lagi, sebelumnya belajar lebih dalam tentang poligami dengan pasangan. Jika istri belum memberikan ijinnya, maka bersabarlah jangan sampai karena tidak sanggup bersikap sabar terjadi penghianatan di khawatirkan jika sebuah pernikahan di awali dan niat tidak baik akan berdampak pada tercabutnya keberkahan hidup, berkurangnya rejeki.
 ----
Iman seseorang kadang naik kadang turun, jangan terlalu percaya diri bahwa iman pasangan kita selalu naik, karena setan selalu berusaha keras membisiki, selalu punya cara dari berbagai penjuru arah agar bisa masuk.

Bahkan seorang mujahid, hafal seluruh Al-qur’an terkenal karena keimanannya bisa tergelincir karena wanita dan mati dengan hina.1

Wanita menjadi salah satu ujian terberat, tidak sedikit yang mengakui ketidakmampuannya melalui dengan ujian ini.

“Tidak pernah kutinggalkan setelahku fitnah yang lebih dahsyat bahayanya bagi kaum pria daripada fitnah wanita.” (Muttafaqun Alaih)

Pasangan saya adalah manusia biasa, saya tidak bisa menjadi cctv yang setiap detik, setiap menit, setiap jam, bisa mengawasi gerak geriknya, saya juga tidak bisa menjadi ahli hacker, yang bisa dengan mudah melacak aktifitasnya di dunia maya, saya tidak bisa menjadi detektif handal, yang dengan lihai membuntuti semua kegiatannya, saya hanya bisa meletakan kepercayaan padanya dan berusaha menjadi istri yang di harapkannya, itu pun saya tidak mempunyai jaminan apakah dia akan setia sampai akhir hayat, yang bisa saya lakukan adalah menitipkannya pada sang maha penggenggam hati yaitu Allah SWT.

Fitrahnya laki-laki senang melihat yang bening, panah matanya bisa melesat jauh dan tak terkontrol, hanya iman yang mampu mengendalikannya.

Jangan pernah merasa bosan mendo’akan pasangan halal kita agar selalu menundukan pandangan pada yang bukan haknya, jangan bosan mendo’akan pasangan halal kita agar hatinya selalu terjaga, jangan bosan mendo’akan pasangan halal kita agar tidak tergelencir pada kubangan zina, baik zina hati, zina mata, zina pikiran maupun zina fisik.


---------
1 Berkata Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitabnya Al-Bidayah wa An-Nihayah (11/74):
“Pada tahun (278H), telah wafat Abdah bin Abdurrahim –semoga Allah memburukkannya-, telah disebutkan oleh Ibnul Jauzy bahwa orang malang ini dulunya termasuk dari seorang lelaki yang sering berjihad di negeri Romawi, ketika dalam beberapa peperangan dan pada waktu itu kaum muslim mengepung sebuah daerah dari kekuasan Romawi, lelaki sang mujahid yang terkena godaan ini memandang kepada seorang wanita dari bangsa Romawi di benteng tersebut, maka akhirnya lelaki ini menginginkan wanita tersebut, lalu ia menyurati wanita tersebut; “Bagaimana agar aku bisa sampai kepadamu?”, wanita ini menjawab: “Kamu masuk ke dalam agama Nashrani lalu kamu naik menemuiku”, lalu lelaki ini menerima ajakan tersebut”, maka ketika kaum muslim mengepung malah dia berada bersama wanita tersebut, kejadian itu sangat menyakitkan dan memberatkan kaum muslim, setelah beberapa waktu berlalu, kaum muslim melewati benteng tersebut dan si lelaki ini sedang bersama wanita tersebut di benteng itu, mereka (kaum muslim) bertanya kepada lelaki tersebut: “Wahai Fulan, Apa yang telah Al-Qur’an lakukan terhadapmu?, apa yang telah dikerjakan oleh ilmumu terhadapmu? Apa yang telah dikerjakan puasamu terhadapmu? Apa yang telah dikerjakan oleh jihadmu terhadapmu? Apa yang telah diperbuat shalatmu terhadapmu?”, lelaki ini menjawab: “Ketahuilah kalian semuanya, sesungguhnya aku telah lupa Al-Qur’an kecuali Firman-Nya:

Artinya: “Orang-orang yang kafir itu sering kali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)”. (QS. Al Hijr: 2-3).

oleh Neng Sri

Sunday 31 May 2020

Histerektomi #Part1


literasi,histeroktemi,rahim,cerpen,novel,pendarahan,postpartum




Ijinkan aku berbagi secuil kisah perjalanan hidup. Mudah-mudahan pembaca dapat mengambil pelajaran dan memahami arti kata bersyukur.

-----




Setiap masuk bulan Juli, mengingatkan aku pada peristiwa lima tahun silam. Sebuah peristiwa yang mampu membuat kepercayaan diri sebagai istri turun drastis pada palung yang terdalam, yang meluluhlantakkan hati dan jiwa bagaikan debu yang tertiup angin kencang, memorak-porandakan diri merasa menjadi wanita yang tak bernilai lagi … cacat seumur hidup.

 

Meskipun sudah berlalu puluhan purnama namun kilasan kejadian masih terekam jelas dalam ingatan, setiap jam, setiap kata, setiap gerak masih terekam utuh dalam memori otak. Seperti sebuah film yang akan terus berputar menayangkan setiap adegan demi adegan dan ada aku sebagai pemeran utama.

 

Diperlukan waktu yang lama untuk dapat berkata dengan lantang let it go … let it go. Butuh perenungan, muhasabah untuk dapat mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Perlu proses untuk sampai pada kata ikhlas yang melibatkan banyak air mata. Dalam perjalanan hidup,  ini merupakan sebuah ujian yang terberat. Hidupku dan bulan Juli ada hubungan yang romantis di dalamnya.

 

----------

 

Hari senin tanggal 6, kami memutuskan untuk konsultasi kembali dengan Dokter kandungan Arif, karena beliau mempunyai rekam medik lengkap semenjak keguguran tahun 2013. Hari yang cerah, aku sangat bersemangat, aku yakin ini adalah akhir dari sebuah ikhtiar kesembuhan.

 

“Ada penebalan di dinding rahim, jika usaha lain sudah dilakukan kita ambil tindakan kuret  untuk membersihkan.”

 

“Kartu BPJS-nya dibawa?”

 

“Dibawa, Dok.”

 

“Bagus kalau begitu, saya bikin surat pengantar, berikan langsung ke IGD, nanti tindakan akan dilakukan jam 11.”

 

 

Sungguh itu adalah perkataan yang ditunggu, karena menurut pemikiranku, waktu lahir anak kedua ada sisa plasenta dan sepuluh hari dari melahirkan dilakukan kuret. Ada binar bahagia di mataku, hatiku membuncah, ini adalah akhir dari penderitaan,kecemasan, ketakutan yang selama ini didera.

 

Karena sudah mengalami kuret dua kali jadi aku tahu apa saja yang harus di siapkan. Di dalam tas sudah ada, kartu BPJS, kartu keluarga, KTP, baju ganti, sarung, pakaian dalam, pembalut.

 

Jarak rumah sakit dengan klinik Dokter Arif sangatlah dekat, tinggal menyebrang, aku langsung menelpon mamah yang sedang menjaga anak-anak di rumah, minta do’anya supaya dilancarkan.

 

Ruangan IGD kebidanan hari itu ramai, aku memberikan kertas kepada perawat yang sedang bertugas di belakang meja, kubaca terlebih dulu surat yang ada di tangan, ‘post partum,’ gumamku.

 

“Wah post partum, tindakan jam 11,” ucap salah satu perawat.

 

“Sekarang jam? Sebentar lagi,” ucapnya lagi.

 

“Cepat siapkan tempat!” teriak perawat satu lagi.

 

Setelah melalui serangkaian tindakan di IGD, aku dibawa ke ruangan Seruni, di sana Dokter Arif sudah menunggu. Di dalam ruangan ada pasien beliau satu lagi, ibu setengah baya dengan kasus kista.

 

“Ibu saya ikat tangan dan kakinya, takutnya nanti ibu dalam keadaan tidak sadar  bergerak dan jatuh.”

 

Kata salah satu perawat yang bertubuh tinggi besar –sepertinya senior-dengan suara tegas.

 

“Ibu berdo’a, supaya lancar, Bismillah jangan tegang rileks aja cuma sebentar.”

 

Jujur aku tegang, berbeda dengan kuret terdahulu tidak setegang ini, mungkin karena dulu dilakukan di Bandung ada kakak ipar yang bertugas di bagian kebidanan, banyak keluarga yang mendampingi sedangkan di Sukabumi tidak punya sanak saudara hanya didampingi suami.

 

“Dokter mau yang mana dulu.”

 

“Kuret dulu.”

 

“Dok, 130.”

 

“Ibu jangan tegang Bu, Ibu tidur, rileks aja.”

 

Aku paksakan menutup mata, sepertinya obat anestesi sudah mulai bekerja. Aku merasa baru saja terlelap, ada yang menepuk tangan kiri agak sedikit kencang.

 

“Ibu, Ibu bangun Bu, kuretnya sudah selesai Ibu akan dipindahkan ke ruangan lain.”

 

Kepalaku tidak dapat diangkat terlalu lemah, hanya bisa melirik ke kiri ke kanan ke bawah, tapi telinga masih mendengar jelas. Aku merasakan dokter menutup dengan semacam tisu, bukan … bukan menutup tapi menyumpal, karena aku bisa merasakan tetesan di bawah sana.  Aku mendengar langkah kaki berlari, melihat suamiku melintas lalu menutup bagian bawahku dengan kain.

 

“Ibu bangun Bu, Ibu akan dipindahkan, sekarang Ibu pindah ke sini kami akan bantu, ya.”

 

Aku hanya bisa mengangguk lemah, dipindahan ke brankar lain dan dibawa menuju ruangan berbeda. Aku mendengar kegaduhan, dari ujung mata aku melihat cukup banyak orang lalu lalang dengan suara langkah kaki tergesa-gesa. Aku masih merasakan di bawah sana terus menetes. Sampai di depan pintu yang sudah terbuka lebar, disambut oleh beberapa orang yang berseragam hijau, wajah-wajah tegang terlihat. Aku masuk ke ruangan dengan pencahyaan tinggi, suara gaduh semakin kentara.

 

“Dokter, 170.”

 

“Dok, ganti aja sudah penuh darah.”

 

“Iya.”

 

“Ibu, cobi angkat imbitna sakedap.”

 

“Ibu, Ibu pegang jempol saya kuat-kuat ya, Bu, yang kuat, Bu, lagi Bu yang kuat.”

 

“Jang, Ujang ini ketemu.”

 

“Ibu tanda tangan di sini.”

 

Salah seorang menyodorkan selember kertas.

 

“ Saya mau diapain?” tanyaku dengan suara lirih.

 

“Ibu akan diperiksa penyebab pendarahan.” Orang tersebut membantuku memegang bolpen, entah benar atau tidak tanda tanganku, aku tak bisa melihat jelas.

 

Lampu di atas badan sangat terang sekali, membuat mataku silau, aku tidak bisa berpikir, hanya bisa mendengar, mataku terlalu lemah sekarang untuk bisa melirik ke kiri ataupun ke kanan.

 

“Ibu, coba angkat sedikit punggungnya.”

 

“Ibu, kita akan coba menyelamatkan rahim Ibu, mungkin akan di jahit.”

 

Samar terdengar orang-orang berbisik. Beberapa saat kemudian.

 

“Ibu ternyata rahim Ibu tidak bisa dijahit, kami sudah mendapat persetujuan dari suami Ibu.”

 

Terdengar di sebelah kiri, aku kenal suara itu, suara Dokter Arif,  dengan nafas terengah-engah.

 

“Ibu apa waktu di Bandung dokter tidak menganjurkan kuret atau Ibu yang menolak untuk di kuret?’ tanya perawat yang bersuara tegas.

 

“Nggak, kata dokter nggak usah dikuret sudah bersih.” Aku menjawab dengan suara lirih.

 

“Ibu … Ibu akan disteril, ya.”

 

Dan itu adalah suara terakhir yang terdengar, setelahnya aku tidak tahu apa yang terjadi.




Oleh : Neng Sri

Monday 1 June 2020

Barakallah Fii Umrik Ya Habibi

literasi,novel,cerpen,ulang tahun,happy

"Hai."
"Hai."
"Ada kelas?"
"Iya."
Itu adalah sapaan pertama dan pertemuañ pertama tahun 1996. Takdir mempertemukan ketika kami sama-sama berjalan menuju kampus, Buah Batu. Aku yang baru turun dari angkot tiba-tiba di belakang ada yang menyapa dengan tersenyum ramah. Ketika sampai di depan kampus, terlihat beberapa teman sedang duduk di bangku panjang. Kami langsung berpisah, dia jalan ke arah kiri, sedangkan aku ke arah kanan, bergabung dengan teman-teman. Lalu salah satu teman berkata, " cie ... janjian? Kok bisa barengan?" Aku mencebik, " Nggak lah, kebetulan ketemu tadi pas di belokan." Setelah kejadian itu, tidak ada yang istimewa, tidak pernah ngobrol berdua meskipun sering ada kelas bareng, tapi aku sering mendapatinya mencuri pandang padaku, rasanya? ... menyenangkan dan menggelikan. Lalu akhirnya di penghujung tahun 1999, ketika mentari bersinar cerah tapi tidak membuat kepanasaan, hari itu pengambilan baju toga untuk wisuda besok lusa, tiba-tiba teman Teguh Wiharko duduk di sebelah, dengan canggung dia berkata, "Ehm ... Sri, ada titipan surat, dibaca ya!" Dia langsung ngeloyor pergi meninggalkan aku yang kebingungan. Aku baca surat titipan di tempat kost teman, akhirnya aku tahu surat dari siapa, cukup mengejutkan mengingat kami jarang berinteraksi berdua. Lumayan lama memberi jawaban kurang lebih sebulanan, dengan berbagai pertimbangan dan setelah melalui serangkaian do'a aku beranikan memberi jawaban 'iya'. Dia ya dia dari awal bertemu sampai sekarang tidak berubah. Lelaki yang mampu membuat aku merasakan manisnya cinta, mampu melewati kesulitan tanpa amarah, mampu menjalani duka dengan sabar, mampu meluapkan kekesalan tanpa teriakan, mampu melewati hidup yang jauh dari ekspetasi dengan ikhlas walau sulit. Seorang suami dan seorang ayah yang bertanggung jawab. Dia dengan segala kelebihan dan kekurangannya adalah lelaki pilihan Allah untukku. Barakallah fii umrik ayah


OLeh Neng Sri

Sunday 9 February 2020

Literasi #Sweet Seventeen


sweet,seven,ultah,nikah,literasi,cerpen


Pada suatu hari.

“Yah,” panggilku.

“Hm.” Matanya terkonsentrasi pada laptop.

“Masih cinta nggak?” pertanyaan untuk yang kesekian kali.

Suami tidak menjawab, menoleh dengan pandangan jengah, aku? biasa aja, karena sudah tahu reaksinya akan seperti itu.

Tetapi aku tetap merajuk manja, dengan menarik-narik ujung kaosnya, “masih sayang, nggak?”, akhirnya suami menjawab dengan raut muka kesal, “sayang itu sudah satu paket sama cinta, nggak usah di tanya lagi itu, kalo cinta otomatis pasti sayang.”

Kali ini aku beruntung suami mau menjawab, biasanya hanya menatap sebal tanpa keluar kata-kata.

Pada suatu malam menjelang tidur.

“Yah, apa yang bikin ayah suka terus jatuh cinta sama Ibu?”

“Ck, tidur udah malem, Bu.”

Dan lagi ini bukan pertanyaan yang pertama diajukan, entah yang ke berapa kali.

Di lain waktu.

“Yah, kenapa Ayah mau nikah sama Ibu? Padahal Ibu dari keluarga biasa-biasa saja, Mamah sama Bapak nggak punya gelar haji, ngak kaya raya seperti besan yang lain.”

“Jangan mulai bikin sinetron deh, Bu, keseringan nonton film India.” Suami bersungut, di lihat raut wajahnya pasti gemas, karena pertanyaan ini bukan yang pertama kali.

Jangan harap akan di jawab dengan romantis seperti di novel-novel percintaan, karena menurutnya kata-kata yang ada di novel bahasanya tingkat tinggi, nggak ngerti, lebih gampang di mengerti bahasa coding pemograman.

“Yang bagus itu baca buku komik manga atau nonton kartun Jepang, bikin happy, pikiran bebas, nggak ngejelimet, pesan untuk berjuang, pantang menyerahnya dapet.” Alasannya.

Nunggu suami berkata romantis, seperti mengharap siput juara pada lomba lari maraton cheetah.

Terkadang aku mengirim pesan yang tidak bermutu, setidaknya itu menurutnya.

[Ayah, aku jatuh.]

[Siapa yang jatuh?]

[Apa yang sakit, di mana?]

Terlihat ada panggilan, aku terkikik menahan tawa, kubayangkan raut mukanya yang sedang panik, kubiarkan ponsel berdering, sekali dua kali tidak diangkat. Aku tersenyum puas.

[Aku … aku jatuh cinta padamu.]

[Kirain beneran.]

Selanjutnya suami mengirim emotikon tepok jidat, di susul emotikon hati  dan cium.

Pada suatu hari ketika suami pergi ke Pelabuhan Ratu bersama rekan kerjanya dan aku membuat siomay untuk bekal perjalanan mereka.

[Kata anak-anak, terima kasih siomaynya enak]

Selanjutnya mengirim emotikon cium satu.

[Kok ciumnya cuma satu]

Hanya diread.

[Pengen yang banyak ciumnya]

Masih diread.

[Mana?]

Tetap diread. 

[Pelit]

Lalu tak berselang lama terkirim emotikon cium berjajar.

Terkadang kalau ada keinginan tapi suami enggan memenuhi, aku akan bilang, “Ayah memang sudah berubah, nggak seperti dulu sebelum nikah.” Dan dilanjut dengan merajuk sepanjang jalan kenangan, membandingkan perlakuannya sebelum menikah. Dan suami pun pada akhirnya akan luluh entah karena enggan untuk mendengar lagi ocehan atau karena tatapan memelas istrinya. Oh ya Tuhan, ternyata aku sedrama begitu.

Pernah suatu hari ketika aku sedang berada di Bandung, suami mengirimkan stiker ‘I Love You’, tulisan selanjutnya dia mengirim ‘jangan bilang tumben’. Aku tertawa sepertinya terjadi pergolakan batin untuk bisa mengirimkan chat seperti itu, mengakui perasan rindu karena berjauhan itu butuh perjuangan untuknya.

Tepat hari ini usia pernikahan kami memasuki angka cantik, sweet seventeen. Suatu pencapain yang tidak bisa di bilang sebentar, ini merupakan sebuah rejeki, karena rejeki tidak hanya melulu soal uang, pasangan setia itu juga rejeki.

Kami tidak risau dengan kata mantan, karena kami masing-masing tidak mempunyai mantan. Suami adalah pacar pertama dan aku adalah pacar pertamanya. Fisrt love? Bisa jadi iya. Apakah dulu kami pernah menyukai orang lain sebelum menikah? pernah tapi hanya sebatas suka bukan cinta.
Ini adalah secuil kisah bahagia kami, lebih tepatnya kisah absurd bin alay istri kalau suami dari dulu tetap stay calm.  Dan masih banyak kisah suka daripada duka di dalamnya.  Aku berharap kisah bahagia ini tidak terputus sampai sini, tapi berlanjut pada usia pernikahan dua puluh, tiga puluh tahun dan seterusnya.

Dan untuk suamiku, tetap bersabar mengadapi aku, istri yang jauh dari kata ideal apalagi sebagai  istri sholehah.  I am the luckiest women in the world, having you as my husband.


oleh Neng Sri

Thursday 3 December 2020

Literasi# Histerektomi - Part 4

 






 

“Jangan banyak pikiran!” perintah Dokter Arif pada visit terakhir.

 

“Gimana nggak banyak pikiran, Dok. Rahimnya sudah nggak ada.”

 

“Pilih mana, rahimnya yang nggak ada atau orangnya yang nggak ada?”

 

Pertanyaan yang menohok, aku diam tak menjawab menyadari sesuatu.

 

“Jangan kerja yang berat-berat dulu, kerja yang ringan-ringan saja dulu. Masak yang gampang  boleh, cuci baju banyak jangan, olah raga yang berat jangan, jalan-jalan kecil dululah.” Nasehat beliau.

 

“Sudah ya, cepet sehat, jangan lupa minggu depan kontrol, pokoknya jangan banyak pikiran.” Tegas beliau mengingatkan kembali.

 

Suami bolak balik mengurus administrasi kepulangan, sebelumnya diberitahu oleh Bidan Yayah -kepala ruangan- mengenai selisih pembayaran BPJS yang harus diselesaikan.

 

“Ibu Bapak, biaya perawatan Ibu seluruhnya dua puluh juta enam ratus lima puluh ribu, ada selisih yang harus dibayar empat juta enam ratus lima puluh ribu.”

 

“Ibu jangan pikirkan selisih yang harus dibayar kenapa besar, jangan pikirkan uangnya. Ibu harus bersyukur, masih bisa ketemu keluarga, masih bisa mengurus anak-anak, mengurus suami, soalnya jarang-jarang yang seperti Ibu bisa selamat, kebanyakan lewat.”

 

“Kasus Ibu termasuk Cito yaitu pasien yang harus segera ditangani saat itu juga, kalau tidak diambil tindakan segera bisa mengancam keselamatan Ibu, termasuk operasi besar. Makanya Ibu harus banyak-banyak bersyukur sama Allah masih diberi kesempatan.”

 

Perkataan Dokter Arif dan Bidan Yayah seperti sebuah energi baru, layaknya sebuah ponsel yang habis baterai, pelan-pelan mulai terisi.

 

Sebelum meninggalkan ruangan, kami berpamitan menyalami satu-satu perawat serta bidan. Banyak do’a yang terucap dari mereka, banyak nasehat yang diberikan. Sekarang aku merasakan sebagai pasien, selain obat-obatan yang diperlukan, juga yang lebih dibutuhkan adalah sebuah dukungan, penyemangat, bukan tatapan iba mengasihani yang akan membuat pasien merasa manusia yang paling menyedihkan … percayalah pasien yang sedang terpuruk hanya butuh pelukan dan support. Kami meninggalkan RS dengan senyuman.

 

Pulang ke rumah disambut isak tangis mamah, aku berusaha nampak tegar, tidak ikut terpancing menangis. Langsung menuju kamar, rindu bayi yang sudah tiga hari tidak bertemu. Aku menatapnya dengan mata berbinar dan hati  membuncah, usianya memasuki bulan ketiga, sedang aktif-aktifnya belajar menggerak-gerakan kaki dan tangan dengan lincah, yang paling menggemaskan celotehannya yang tak jelas menjadi obat pelipur lara.

 

“Ibu beruntung anak sudah tiga, kakakku baru punya anak satu rahimnya harus diangkat karena tumor.”

 

“Karyawanku baru nikah setahun belum punya anak, istrinya sudah diangkat rahim.”

 

Banyak kata-kata penghiburan dari tetangga, itu cukup membuatku menyadari bahwa aku sangat beruntung dibandingkan cerita mereka.

 

“Bibiku juga sudah diangkat rahimnya, anaknya satu sudah besar, mereka rukun sampai sekarang malah kelihatnnya semakin sayang paman ke bibi.”

 

Thank you so much neighbors, your support means a lot.

 

-----

 

“Waktu Ibu sedang dioperasi, ada telepon dari Rani. Kata Dokter Taufik, sepertinya Ibu harus diangkat rahim.” Suamiku mulai bercerita.

 

“Terus Ayah jawab ‘telat ngasih tahunya, ini lagi dioperasi’,” lanjutnya.

 

“Pantesan Doktek Taufik waktu terakhir kontrol terlihat berbeda, kaya mau bilang sesuatu, tapi ditahan,” kataku.

 

“Sudah jalan-Nya harus di Sukabumi. Di mana pun yang penting sekarang Ibu sehat,” ucap suami.

 

“Ayah juga dikasih lihat rahim Ibu sama Dokter Arif, sebesar kepalan tangan, ada lubang kecil di tengah-tengah. Kaya kita habis gigit roti di bagian tengah, nah bekas gigitannya membekas, rahim Ibu keadaannya gitu.”

 

“Perasaan, Ayah gimana waktu itu?” tanyaku.

 

“Jangan ditanya, nggak karuan rasanya. Sebenarnya kuretnya tidak jadi, kata dokter baru pengukuran kedalaman, tiba-tiba darah langsung muncrat. Lihat Dokter Arif sampai keringetan lari-lari, semua panik, rencana mau kuret malah jadi operasi,” jawab suami.

 

-----

 

Satu minggu pasca operasi waktunya kontrol, Dokter Arif menjawab ketakutan yang selama ini menganggu pikiran.

 

“Ibu yang diangkat rahim Ibu yang ini (dengan menunjukan gambar peraga yang berada di samping mejanya), sel telur Ibu kanan dan kiri masih utuh, tidak diangkat.”

 

“Kegiatan hubungan intim Ibu dengan Bapak tidak akan terganggu, karena beda organ dan beda fungsinya. Rahim tempat janin tumbuh, sedangkan aktivitas intim suami istri berlangsung di dalam v-----.”

 

“Operasi pengangkatan rahim tidak mempengaruhi sensasi di v----- atau kemampuan untuk mencapai kepuasan. Ada beberapa istri bahkan dapat menikmati aktivitas intim suami istri yang lebih baik setelah operasi.”

 

“Ibu tidak perlu khawatir dengan penyakit kanker rahim, Ibu terhindar dari itu, ibadah Ibu tidak akan terganggu dengan siklus datang bulan karena Ibu tidak akan mengalaminya lagi.”

 

-----

 

Akan merasa kehilangan jika sudah pergi, kalimat itu pasti sering terdengar, dan aku pernah mengalami prosesnya. Ikhlas … satu-satu jalan untuk berdamai dengan keadaan, membuat hati lapang, tapi buatku itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, aku tidak memiliki kesabaran yang tinggi, sungguh imanku sangat tipis.

 

“Sini adeknya aku gendong, kebetulan lagi dapet.” Kalimat yang sangat biasa, tapi membuat langkahku melambat dan termenung lama ketika mengambil air wudhu. Pernah menangis gara-gara melihat pembalut di lemari, terdengar konyol mungkin tapi pembalut bagiku mempunyai arti yang dalam, sebuah perpisahan, karena dia pernah menemaniku kurang lebih tiga bulan tanpa jeda.

 

Dulu aku sering mengeluh ketika datang bulan datang, rasa sakit melilit di perut yang tak tertahankan. Buat para perempuan yang sampai sekarang masih mengalami siklus datang bulan, jika rasa itu datang, pejamkan mata, resapi setiap sakitnya nikmati keadaannya, jangan mengeluh apalagi marah sampai menghujat, karena itu adalah suatu keajaiban sebuah anugerah yang tak terhingga karena di belahan bumi lain ada seorang perempuan  yang tidak bisa lagi menikmati anugerah-Nya dan dia merindukan kehadirannya.

 

Dalam proses pencarian menuju ikhlas, qadarullah seseorang mengirim sebuah video tausiah seorang ustdaz, Oemar Mita dengan judul Hakikat Sabar.

 

Orang-orang ahlul musibah (orang-orang yang hidupnya diuji terus) dihisab terlebih dahulu, dan Allah akan ganti dengan tiga hal yaitu surga, kekuatan dan tempat yang tinggi di surga. Tempat itu tidak bisa diraih dengan sholat, tidak bisa diraih dengan sadaqah tapi hanya bisa diraih oleh orang yang sabar ketika mendapati ujian.

 

Ahlul ‘afiah (orang-orang yang hidupnya jarang diuji) sampai mendongkak ke atas saking tingginya kedudukan ahlul musibah di surga. Dan ahlul ‘afiah berkata, “Ya Allah jika setiap dibalik ujian akan mendapatkan kedudukan tinggi di surga dan betapa mudahnya mereka (ahlul musibah) dihisab karena sudah berkurang dosa-dosanya, tolong ya Allah hidupkan kami (ahlul ‘afiah) sekali lagi, beri kami ujian.”

 

Dan sayangnya orang yang sudah meninggal tidak dapat hidup kembali lagi ke bumi.

 

Isi sebagian dari tausiah.

 

Aku dengarkan berulang kali video tersebut, diulang lagi dan lagi sampai memahami betul maknanya.

 

Aku bukanlah orang yang berlimpah materi, apalagi crazy rich people, ilmu agamaku minim, aku bukan seorang cendekiawan yang berilmu tinggi. Shadaqahku bisa dihitung dengan jari, dalam salatku terkadang ragu hitungan rakaat, banyak amalan sunah yang terabaikan, tadarus Quranku sering terlewatkan. Lantas amalan apa yang bisa aku bawa nanti ke hadapan Sang Pencipta? Sedangkan aku sering meminta untuk menjadi salah satu penghuni surga.

 

Anakku sering menggambar kami sekeluarga dan dia beri judul ‘Keluarga Bahagia’, iya aku berada di dalam keluarga bahagia. Anak-anak yang sehat, tidak pernah berulah yang membuat orang tuanya murka, berprestasi di sekolah. Suami orang yang selalu bertutur kata lembut, tak pernah sekalipun membentak apalagi berkata kasar, tidak banyak menuntut. Dan apa yang aku takutkan dulu tidak terbukti, hubungan intim suami istri, berlangsung seperti biasa, tidak ada yang berubah, kami bisa menikmatinya, much better. Lalu  kenapa aku harus meratap terus? Sepanjang usia banyak mengecap kisah suka cita, sedangkan kisah duka baru kali ini merasakan teramat, lantas kenapa aku harus mengabaikan kisah sukanya dan terlalu fokus pada duka?

 

Fabiayyi Alaa Irobbikuma Tukadziban, Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan, ayat 13 yang diulang sebanyak 31 kali dalam surat Ar Rahman.

 

Aku meraba perut bagian bawah, ada garis lurus yang tidak semua orang punya. Ini adalah sebuah tanda sayang dari Sang Kuasa, Dia Maha Tahu bahwa amalanku tidak cukup untuk menempati tempat terindah-Nya, maka Allah beri ujian ini. Bukankah setiap ada kebahagiaan diiringi kesedihan, dan setelah melewatinya akan ada pelangi menghiasi.

 

Aku berkata pada diri sendiri, “sisakan ruang dalam hati, gunakan itu untuk menerima diri sendiri apapun keadaannya, bukankah dunia ini fana, semua hanya titipan termasuk tubuhmu, kamu hanya ruh yang menempati tubuh ini. Gunakan sisa ruang itu untuk berdamai dengan keadaan, lapangkan dada, ikhlaslah dengan suratan, bukankah salah satu rukun iman adalah percaya pada qodo dan qodar. Lepaskan.”

 

Setiap orang berbeda proses dalam mencapai ikhlas, ada yang membutuhkan waktu yang lama ada pula yang sebentar. Tergantung seberapa besar keinginan untuk mencapainya dan sebesar apa usaha untuk mewujudkannya.

 

Aku memejamkan mata, meraup udara sebanyak yang aku mampu, menghembuskannya perlahan, menempatkan kedua telapak tangan pada perut bagian bawah, dan berkata, “I let you go. Terima kasih sudah menemaniku selama 38 tahun 2 bulan 6 hari, terima kasih telah membuatku menjadi wanita sempurna, terima kasih sudah membuatku menjadi seorang ibu, terima kasih sudah melengkapi hidupku. Terima kasih untuk rahimku.”

 

End.

 

Terima kasih untuk segenap jajaran tenaga medis di ruang Seruni, ruang Mawar Merah dan ruang Mawar Putih. Terima kasih juga untuk segenap jajaran tenaga medis di ruang Zaitun.  Terima kasih yang tak terhingga untuk Dokter Arif dan Dokter Taufik. Semoga Allah membalas atas kesigapan dan ketulusan dalam melakukan pekerjaan dan atas semua dedikasi yang telah di berikan.

Terima kasih untuk pembaca yang sudah berkenan mengikuti kisah ini, semoga bermanfaat.

Sedikit informasi :

  • Plasenta akreta adalah kondisi ketika ari-ari atau pembuluh darah pada plasenta bertumbuh pada dinding rahim terlalu dalam.
  •  Plasenta inkreta, yaitu ketika plasenta menempel semakin dalam pada rahim, bahkan hingga mencapai otot rahim.
  • Plasenta perkreta adalah plasenta bisa menembus dinding rahim dan menempel pada organ lain, seperti misalnya kandung kemih.
  • Plasenta previa adalah kondisi ketika letak plasenta rendah, sehingga menutupi bagian mulut rahim.





Oleh : Neng_Sri